close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penyidik senior KPK Novel Baswedan berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (6/4). /Antara Foto.
icon caption
Penyidik senior KPK Novel Baswedan berbicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (6/4). /Antara Foto.
Nasional
Kamis, 11 April 2019 10:00

2 tahun kasus Novel Baswedan: Menanti keseriusan tim gabungan

Kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan belum menemukan titik terang hingga kini.
swipe

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 1996 hingga 2019 ada ratusan serangan fisik dan ancaman terhadap pegiat antikorupsi. Serangan itu juga menimpa komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Misalnya saja teror bom di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif beberapa waktu lalu.

“Sekelas komisioner saja itu mendapat ancaman. Negara seharusnya memproteksi mereka,” kata anggota divisi investigasi ICW Wana Alamsyah saat ditemui reporter Alinea.id di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (10/4).

Kasus penyerangan dengan cara menyiram air keras yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan tentu salah satu yang menyita perhatian besar publik. Dua tahun lalu, Novel diserang dua orang tak dikenal di dekat rumahnya, bilangan Kelapa Gadung, Jakarta Utara.

Akibat serangan itu, Novel berulang kali menjalani serangkaian operasi. Mata kirinya tak lagi bisa melihat dengan jelas. Penyerangan terhadap Novel tak hanya sekali itu terjadi. Saat menangani kasus korupsi Bupati Buol, Amran Batalipu pada 2012, sepeda motor Novel pernah ditabrak mobil yang mengawal Amran.

Pada 2016, Novel pernah ditabrak mobil lagi, ketika ia ingin berangkat ke kantor KPK. Ia terjatuh dari sepeda motornya, tetapi hanya mengalami luka-luka.

Tim gabungan meragukan?

Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi diam 700 hari penyerangan Novel Baswedan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/3). /Antara Foto.

Terkait penyerangan dengan air keras yang menyebabkan mata kiri Novel rusak, kepolisian sudah membentuk tim gabungan sejak Januari 2019. Namun, Wana Alamsyah melihat, tim ini belum menunjukkan tanda-tanda signifikan untuk menemukan titik terang kasus Novel.

Ia memandang, hasil kinerja berupa proses dan temuan-temuan dalam pengungkapan kasus Novel harusnya dibuka ke publik.

Senada dengan Wana, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia juga meragukan kinerja tim gabungan. Putri melihat, tim gabungan yang dibentuk menjelang debat calon presiden pertama Pilpres 2019 itu sekadar upaya menyiapkan jawaban dari pertanyaan yang akan muncul ketika debat.

“Walaupun dari pihak kepolisian mengatakan itu (pembentukan tim gabungan) tidak ada kaitannya, tetapi konteksnya sangat politis. Buktinya, setelah tim ini dibentuk, tidak ada sesuatu yang signifikan,” kata Putri saat ditemui di kantor ICW, Jakarta Selatan, Rabu (10/4).

Ia mengingatkan, minggu depan merupakan 100 hari tim gabungan bekerja. Menurutnya, saat itu merupakan momen yang pas bagi tim gabungan untuk membuka hasil kerja tim ini.

“Misalnya memeriksa CCTV, itu sudah pernah dilakukan? Kalau ternyata dari 100 hari tim bekerja dan tidak ada laporan yang signifikan ya buat apa? Pemborosan anggaran negara saja,” tutur Putri.

Putri mencermati komposisi tim yang didominasi anggota kepolisian. Ia ragu, tim ini bakal bergerak menemukan fakta baru, terkait penyiraman air keras terhadap Novel.

“Sementara kita tahu, dalam penyelidikan ada keterlibatan anggota kepolisian dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan,” ujar Putri.

Tim independen

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Ketika Mata seperti Bunga kekuasaan terlihat kecut #novel2tahun #novelbaswedan

Sebuah kiriman dibagikan oleh Haris Azhar (@azharharis) pada

Di sisi lain, Campaign Manager Change.org--situs petisi online--Dhenok Pratiwi mengatakan, petisi-petisi mendukung pengusutan kasus kekerasan terhadap Novel digiatkan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, seperti ICW, Amnesty International Indonesia, LBH Jakarta, dan Kontras.

Petisi untuk Novel, kata Dhenok, hingga kini belum bisa dinyatakan berhasil. “Karena tujuan dari penggagas petisinya belum tercapai, yaitu pembentukan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) independen,” kata Dhenok saat dihubungi, Rabu (10/4).

Meski begitu, kata dia, desakan masyarakat melalui petisi itu berhasil membuat tekanan kepada pemerintah, yaitu dibentuknya tim gabungan Polri-KPK untuk mengusut kasusnya pada beberapa bulan lalu.

Menurut Putri Kanesia, Koalisi Masyarakat Sipil akan terus mendorong selesainya kasus ini. Saat ini, lanjut Putri, Koalisi Masyarakat Sipil hanya meminta tim independen di bawah naungan presiden berisikan orang-orang dari lembaga independen, dan objektif dalam melihat kasus ini.

“Ayo presiden bentuk TGPF. Harusnya presiden juga melihat ini sudah dua tahun, ini bukan prestasi, ini contoh kegagalan kepolisian,” ucap Putri.

Sementara itu, pihak kepolisian sudah mengeluarkan rilis pers pada 10 April 2019. Di dalam rilis ini disebutkan, tim gabungan melakukan uji alibi dan pendalaman saksi-saksi ahli di Maluku, pada 8 hingga 10 April 2019.

Uji alibi dan pendalaman saksi-saksi ini merupakan pengembangan dari uji alibi dan pendalaman saksi-saksi yang sebelumnya sudah dilakukan tim pakar di Malang pada 20 Maret 2019, Bekasi pada 27 Maret 2019, dan Sukabumi pada 2 April 2019.

“Hasil yang diperoleh di Malang, Bekasi, Sukabumi, dan Ambon melengkapi penelusuran tim di Jakarta. Di Jakarta, tim mendengar keterangan dari profesor ahli kimia dan dokter ahli mata, serta memeriksa kembali jenderal serta beberapa anggota kepolisian,” tulis Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti dalam rilis yang diterima Alinea.id, Rabu (10/4).

Selain itu, tim bekerja sama dengan rekanan dari inggris untuk mencoba memperjelas tayangan CCTV, yang merekam aksi penyerangan terhadap Novel.

Dalam waktu dekat, kata Poengky, tim gabungan akan melakukan konsinyering, uji alibi, dan pendalaman saksi di Jawa Tengah. Mereka juga akan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti KPK Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman.

Dalam rilis tersebut, Poengky juga mengatakan dirinya dan tim akan terus bekerja hingga akhir masa tugas pada 7 Juli 2019.

Tim gabungan berjumlah 65 orang. Diketuai Kabareskrim Idham Aziz. Penanggung jawab Kapolri Tito Karnavian. Penyidik dari anggota kepolisian dan unsur-unsur lain yang disebut tim pakar, antara lain Hermawan Sulistyo, Amsuryan Rifai, Poengky Indarti, dan Hendardi.

“Latar belakang tim pakar adalah dari Kompolnas, bekas Komnas HAM, sejumlah peneliti,” kata Hendardi salah seorang anggota tim pakar saat dihubungi, Rabu (10/4).

Menurut Hendardi, hingga hari ini tim gabungan belum bisa menyampaikan hasil temuan mereka kepada publik. Hendardi berjanji akan menyampaikan hasilnya di akhir masa kerja tim gabungan.

“Kalau kami sampaikan sekarang akan memunculkan banyak spekulasi di publik,” ujar Hendardi.

Hendardi mengatakan, meski terdiri dari para pakar, mereka bekerja terjun menyelidiki juga. Hal ini untuk menepis dugaan politisasi. Mereka juga bekerja melakukan penyelidikan dan reka ulang, penelusuran ke tempat-tempat yang disebutkan saksi, serta uji alibi mengunjungi daerah-daerah yang dikunjungi para saksi.

“Sebanyak 10 saksi baru juga kami periksa untuk memproleh kejernihan dan membuat terang kasus ini. Masing-masing anggota tim pakar, kami semua mempertaruhkan nama kami,” ujarnya.

Menanggapi kasus Novel ini, pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menyesalkan kasus Novel yang dijadikan komoditas politik demi kepentingan pemilu. Nelson menuntut agar tim gabungan bekerja cepat, dan kasus ini terungkap.

“Tidak perlu ada pergantian kekuasaan, kemudian kubu 02 menjanjikan kasus novel 6 bulan selesai. Enggak perlu begitulah. Kita masih percaya pemerintah bisa menyelesaikan kasus ini,” kata Nelson ditemui di kantor ICW, Jakarta Selatan, Rabu (10/4). 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan