Kontrol terhadap pemerintah dan keseteraan di muka hukum melemah belakangan ini, 25 tahun reformasi. Hal tersebut berdasarkan hasil studi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan menelaah evaluasi berkala yang dilakukan Varieties Democracy (V-Dem), lembaga akademik dan beranggota ahli demokrasi seluruh dunia.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani menyatakan, demokratisasi di Indonesia berlangsung sejak mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sementara itu, cara melihat kemajuan, kemunduran, atau stagnasi demokrasi dengan melakukan evaluasi berkala sejak reformasi.
"Ukuran utama tentang seberapa demokratis kita, salah satunya ditandai dengan seberapa kuat adanya oposisi atau seberapa kuat adanya kontrol atau checks and balances terhadap pemerintahan eksekutif," katanya dalam keterangannya, Kamis (25/5).
V-Dem menganalisis perkembangan demokrasi dengan menggunakan equality before the law dan pengawasan terhadap eksekutif sebagai indikator dalam skala 0-1. Angka 0 berarti sangat buruk, sedangkan 1 sangat baik.
Hasilnya, ungkap Saiful, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Kondisi demokrasi pada 2022 berada di angka 0,42 atau turun dibandingkan 2004 sebesar 0,53.
Lebih jauh, dirinya menyampaikan, kondisi demokrasi Indonesia tidak pernah bagus atau di atas 0,6 sejak pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ini berdasarkan indeks demokrasi.
"Kondisi equality before the law dan aspek pengawasan pada eksekutif kita memang kurang bagus atau lemah sejak awal. Tapi, tidak selemah sekarang," tutur Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta itu.
Saiful menerangkan, skor demokrasi Indonesia dalam komponen ini pada rezim Joko Widodo (Jokowi) turun sekitar 10 poin dari 0,52 di awal pemerintahan menjadi 0,42 tahun 2022. Salah satu faktornya adalah melemahnya oposisi.
Pada periode pertama Jokowi, bebernya, oposisi masih cukup kuat. Setidak-tidaknya tokoh yang menjadi lawan pemerintah dalam pemilu, khususnya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, masih berada di luar koalisi.
Skor indeks pengawasan eksekutif dan kesetaraan warga di hadapan hukum lalu turun ke 0,42 pada periode kedua Jokowi. Sebab, melemahnya oposisi membuat tugas periksa dan timbang (check and balances) tidak optimal.
"Oposisi [sekarang] tinggal PKS dan Demokrat. Itu yang menyebabkan indeks pengawasan eksekutif dan kesetaraan warga di hadapan hukum Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan," katanya.
Saiful mengakui bahwa pemerintah berkeinginan pelaksanaan pembangunan berjalan stabil tanpa gangguan. Namun, demokrasi menghendaki opisisi guna mengontrol penguasa.
"Tidak bisa hanya karena memiliki niat baik, pemerintah menghilangkan hak publik untuk melakukan kontrol dan pengawasan. Kekuasaan harus dikontrol dan diawasi," tegasnya.