Pemerintah siap mengeksekusi hukuman mati 274 narapidana, termasuk 79 orang warga negara asing (WNA) dalam kasus narkotika hingga terorisme.
Kasubdit Pembinaan Kepribadian Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Zainal Arifin mengungkapkan bahwa di Indonesia, setidaknya ada 274 orang berstatus terpidana mati dan belum dieksekusi jaksa.
Lebih rinci, Zainal menjabarkan jumlah terpidana mati terbanyak berasal dari Jawa Tengah sebanyak 99 orang, disusul Banten sebanyak 39 orang, Jawa Timur 24 orang, Jawa Barat 18 orang, Kepulauan Riau 15 orang, Kalimantan Barat enam orang, DKI Jakarta lima orang, Sulawesi Selatan lima orang, Sumatera Selatan lima orang, Yogyakarta empat orang, Lampung empat orang, Bali tiga orang, Kalimantan Timur satu orang, Jambi satu orang, Bengkulu satu orang, dan Nusa Tenggara Timur satu orang.
"Mereka yang divonis pidana mati itu berasal dari berbagai kasus yakni 90 orang terkait kasus penyalahgunaan narkotika, 68 orang terseret kasus pembunuhan, delapan orang untuk kasus perampokan, satu orang untuk kasus pencurian, satu orang untuk kasus terorisme, satu orang untuk kasus kesusilaan, dan sisanya 105 orang terjerat kasus pidana lainnya," ujar Zainal dalam Peluncuran Laporan Situasi Lapas dan Terpidana Mati di Indonesia di Novotel Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (10/10).
Zainal membantah adanya sikap pembiaran terhadap seluruh terpidana mati tersebut. Pihaknya senantiasa hadir memberikan pembinaan kepribadian secara rutin dengan harapan statusnya terpidana mati tersebut dapat dicabut dan dibebaskan kelak nanti.
"Kita masih punya harapan, karena saking lamanya mereka mendekam di penjara, masa tidak bisa berubah? Kalau perilaku terpidana tersebut baik, Kalapas akan merekomendasikan grasi dari pidana mati ke seumur hidup, kemudian dari seumur hidup menjadi sementara," katanya.
Mengutip laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dari total tersebut setidaknya 79 di antaranya merupakan berkewarganegaraan asing dari 16 negara. Terbanyak diduduki Nigeria yakni delapan orang, Malaysia sebanyak enam orang, China enam orang, Zimbabwe dua orang, Britania Raya dua orang, Belanda dua orang, Iran dua orang, Pakistan dua orang, Taiwan dua orang, Hong Kong satu orang, India satu orang, Filipina satu orang, Senegal satu orang, Sierra Leone satu orang, Amerika Serikat satu orang, dan Perancis satu orang.
Tingginya angka terpidana mati di Indonesia, dinilai Kontras perlu segera diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah bahkan dianggap perlu untuk menghapuskan jenis pidana tersebut sebab hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi.
"Harusnya tidak lagi diberlakukan dan tidak digunakan lagi dalam negara kita yang sedang maju dan semakin demokratis dan menjunjung nilai hak asasi manusia,” ujar Koordinator KontraS Yati Andriyani.
Aktivis HAM ini menyatakan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk segera menghapuskan penerapan hukuman mati. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan seperti adanya perubahan ketentuan hukuman mati dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi hukuman alternatif.
Di satu sisi, pelaksanaan hukuman mati dinilainya juga masih memiliki sejumlah masalah. Misalnya dalam sejumlah kasus yang diadvokasi oleh KontraS, masih ditemukan dugaan proses peradilan yang tidak adil dalam proses eksekusi hukuman mati.
"Yang lebih substansi lagi adalah profesionalitas, akuntabilitas criminal justice system kita serta independensinya masih bermasalah," katanya.