Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai, pengundangan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mencederai dan mengabaikan suara rakyat.
UU Cipta Kerja juga dinilai sebagai bukti negara melepaskan diri dari tanggung jawab perlindungan buruh migran. Pasalnya, regulasi ‘sapu jagat’ ini dianggap justru mengendorkan pengawasan pada aktor swasta yang sering melanggar hak buruh migran dalam setiap tahapan.
Menurut JBM, UU 11/2020 ini tidak sesuai dengan prinsip dalam Pasal 6 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik karena banyak aturan berbenturan. Bahkan, berpotensi merampas hak atas hidup, karena melanggar aspek hak atas pekerjaan dalam Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Misalnya, terkait kondisi kerja dan upah yang adil, serta penghidupan yang layak.
Disisi lain, lanjut JBM, juga merupakan langkah mundur perlindungan pekerja migran sebagaimana dalam Konvensi Migran Tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Untuk itu, JBM menuntut agar Omnibus Law UU Cipta Kerja dicabut, dan meminta pemerintah segera menerbitkan aturan turunan UU PPMI (Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) dan mewujudkan jaringan pengaman perlindungan PMI di tengah pandemi Covid-19.
Sekretaris Nasional JBM Savitri Wisnuwardhani mengatakan, UU 11/2020 menyederhanakan kepastian perlindungan PMI menjadi perizinan administrasi. Padahal, migrasi pekerja bukanlah tentang perpindahan barang, tetapi manusia yang perlu dilindungi.
“Akibatnya pengawasan pada aktor swasta yang sering kali melakukan pelanggaran hak PMI di setiap proses migrasi menjadi lemah,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (11/11).
Sementara Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, UU Cipta Kerja akan mengacaukan tata kelolah perizinan P3MI yang semestinya menjadi semangat UU PPMI dan Permenaker.
Sebab, lanjut dia, kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan dalam memberi izin kepada P3MI digantikan pemerintah pusat (Pempus). Dalam UU 11/2020, penerbitan izin P3MI Pempus sangat tidak jelas rumusannya, sehingga berpeluang memperlemah persyaratan dalam pemberian izin.
“Tentunya akan berdampak pada perlindungan PMI,” ucapnya.
Ketua Departemen Buruh Migran Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Yatini Sulistyowati mengatakan, semestinya pemerintah segera memberikan jaminan sosial kepada PMI. Jaminan sosial bisa menjadi jaringan pengaman bagi seluruh warga negara untuk mewujudkan hidup layak.
“PMI adalah bagian dari pilar ekonomi bangsa yang tidak pantas mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam jaminan sosial,” tutur Yatini.
Untuk diketahui, JBM terdiri dari 28 organisasi serikat buruh di dalam dan luar negeri. Yaitu, SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, dan Institute for Ecosoc Right.