Guru Besar Pertanahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria S.W Soemardjono menyesalkan, sikap DPR dan pemerintah yang abai akan aspirasi publik dalam mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipker).
"Saya sangat menyesalkan mengapa RUU banyak masalah ini dengan melalui proses yang tidak transparan dan libatkan publik sudah jadi UU," kata Maria, dalam konfrensi pers yang disiarkan secara virtual, Rabu (7/10).
Dia memberikan, tiga catatan terkait materi yang ada dalam klaster pertanahan UU Cipker. Pertama, terkait aturan pertanahan dalam Omnibus Law UU Cipker. Baginya, substansi klaster pertanahan amat bias pada kepentingan pengusaha dan abai terhadap reforma agraria.
"Selain itu, rumusan susbstansi juga manipulatif. Mengapa? karena tidak merujuk satu UU yang dirubah. Jadi beda dengan klaster lainnya," ujarnya.
Dia juga meyakini, susbtansi klaster itu menjiplak dari RUU Pertanahan yang tidak dilanjutkan pembahasannya karena masalah krusial tidak terselaikan.
"Intinya, menyelunduplan substansi yang tidak tuntas dalam RUU Pertanahan, kemudian memindahkan permasalahan yang lebih gawat dalam RUU Cipker," tegas Maria.
Kedua, terkait bank tanah. Menurutnya, konsep yang tercantum dalam UU Cipker tidak jelas. "Apa landasan hukumnya, konstruksi hukumnya, tidak jelas filosofi, kelembagaan seperti apa. Malah bisa disangkakan ini adalah memang membantu kelompok tertentu," tegasnya.
Ketiga, terkait aturan rumah susun untuk warga negara asing (WNA). Menurutnya, aturan ini menabrak dengan regulasi lain yang ada, jauh UU Cipker disahkan. "Rumah susun untuk WNA itu jelas menabrak UU Pokok Agraria dan UU Rumah Susun," paparnya.
Dia menilai, pelaksanaan ketentuan rumah susun akan berantakan akibat adanya benturan dengan regulasi yang lain. "Maka pertanyaannya, kalau UU itu enggak ada yang dirujuk, lalu dalihnya itu norma baru, sedangkan norma lama masih ada, dan norma baru itu bertentangan dengan konstitusi itu di UU asalnya, itu PHP atau ini adalah hanya menjanjikan sesuatu yang tidak akan terjadi," kata Maria.
"Jadi pendapat saya, substansi pertanahan yang manipulatif itu juga akan mengalami kesulitan dalam menyusun pelaksanaannya," sambungnya.