Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi merespons rencana pemerintah mengangkat 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Polri. Koalisi mengeluarkan tiga desakan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pertama, mendesak agar Presiden menyampaikan secara langsung tindak lanjut atas pemberhentian 56 pegawai KPK. Kedua, mendesak mantan Gubernur DKI Jakarta itu melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK.
"Presiden Joko Widodo mengangkat 56 pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara di KPK," bunyi poin ketiga desakan Koalisi dalam siaran pers yang diterima Aline.id, Rabu (29/9/2021).
Menurut Koalisi, rencana pemerintah mengangkat 56 pegawai KPK untuk jadi ASN Polri dinilai kian menguatkan sinyal bahwa tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK penuh masalah. Logika hukumnya, pemerintah melalui Menkopolhukam mengungkapkan bahwa dasar hukum pengangkatan 56 pegawai KPK adalah Pasal 3 ayat (1) PP 17/2020.
Aturan itu menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan PNS. "Sedangkan pada waktu yang sama, Pimpinan KPK mengatakan bahwa 56 pegawai tidak bisa diangkat menjadi ASN karena tidak lolos TWK," ujar Koalisi.
Selain itu, dengan dasar PP 17/2020, Presiden harus menegur dan mengevaluasi Pimpinan KPK karena telah membuat gaduh serta meresahkan masyarakat atas tindakannya dalam penyelenggaraan TWK. Hal ini dibenarkan secara peraturan perundang-undangan.
"Sebab, Presiden merupakan atasan langsung dari KPK berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan dituangkan dalam perubahan UU KPK. Sederhananya, jika Presiden mengangkat 56 pegawai ASN tanpa diikuti evaluasi atas kinerja Pimpinan KPK, maka patut diduga pihak eksekutif juga berada pada posisi yang sama dengan Firli Bahuri dan komisioner lainnya," lanjutnya.
Koalisi menambahkan, Ombudsman dan Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi atas investigasinya perihal penyelenggaraan TWK KPK. Dua lembaga negara yang dibentuk dengan undang-undang itu telah meminta kepada Presiden untuk melantik 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK.
"Pertanyaan lanjutannya, apakah Presiden sudah membaca dan melakukan pertemuan dengan Ombudsman dan Komnas HAM sebelum menyetujui ide dari Kapolri terkait kelanjutan 56 pegawai KPK? Sebab, jika sudah, namun tidak dijalankan, maka akan timbul konsekuensi hukum bagi Presiden," bebernya.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi kemudian merujuk Pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman bahwa Terlapor (Pimpinan KPK) dan atasan Terlapor (Presiden) wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman. "Maka dari itu, tindakan pengabaian Presiden terhadap hal tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah tidak menghargai kinerja lembaga negara dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum," ungkapnya.
Menurut Koalisi, pernyataan Kapolri terkait rencana pengangkatan 56 pegawai KPK menjadi ASN di Kepolisian penting untuk kita amati bersama. Sebab, belum ada penjelasan lengkap perihal konsep tersebut. "Misalnya, landasan hukum, penempatan, dan tugas yang akan mereka emban nanti di kepolisian. Hal ini penting, sebab, 56 pegawai tersebut berasal dari lintas kedeputian sewaktu bekerja di KPK, mulai dari penindakan, pencegahan, dan bagian-bagian lainnya," bebernya.
Jangan diposisikan pencari kerja
Koalisi mengingatkan, jangan sampai ada kesan yang timbul bahwa puluhan pegawai KPK tersebut seolah-olah diposisikan sebagai pencari pekerjaan. Sebab, keinginan untuk menjadi ASN bukan niat dari individu, melainkan perintah UU.
"Sikap Presiden dalam isu TWK ini dapat digambarkan bahwa pemerintah seperti tidak pernah berpihak pada isu penguatan lembaga pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, sikap semacam ini bukan kali pertama terjadi," ungkapnya.
Sebelumnya, lanjut Koalisi, pada tahun 2019 lalu, Presiden juga sepakat dengan agenda revisi UU KPK dan berkontribusi langsung saat menghasilkan Pimpinan KPK yang sangat buruk. "Padahal, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Hal itu dapat ditangkap dari temuan Transparency International saat menyampaikan Indeks Persepsi Korupsi yang semakin anjlok pada tahun 2020 lalu," paparnya.
Bahkan, sambungnya, tidak hanya mengabaikan perintah UU dan temuan lembaga negara, Presiden juga belum secara penuh mendengarkan aspirasi yang selama ini disampaikan oleh masyarakat terkait TWK KPK.
"Selama kurun waktu empat bulan terakhir sejumlah organisasi dan individu tokoh masyarakat sudah menyuarakan agar Presiden membatalkan keputusan Pimpinan KPK. Mulai dari puluhan guru besar, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil telah memberikan masukan tentang potensi pelemahan KPK di balik TWK," pungkasnya.
Untuk diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi merupakan gabungan dari sejumlah organisasi, yakni Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KIPP Indonesia, LBH PP Muhammadiyah, Public Virtue Research Institute (PVRI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK-LPT), PHI, Transparency International Indonesia, Perempuan Indonesia Antikorupsi, Pusat Studi Konstitusi FH UNAND, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Amnesty International Indonesia, Themis Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan change.org Indonesia.