Baru-baru ini masyarakat Indonesia sempat dibuat geger kembali dengan kemunculan ledakan bom di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri diserang dengan senjata api oleh seorang perempuan terduga teroris.
Peneliti Hukum dan HAM LP3ES Milda Istiqomah mengatakan, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia terlihat dari jumlah tahanan dan napi perempuan pada kasus terorisme antara tahun 2000-2020 yang berjumlah 39 orang. Dari jumlah tersebut dapat dilihat persentase perempuan sebagai pelaku aksi terorisme kurang dari 10% jika dibandingkan dengan laki-laki.
Pada periode 2000-2015 peran perempuan dalam aksi terorisme lebih mengarah pada invisible roles (peran-peran yang pasif) atau di belakang layar. Dalam peran ini, pelaku bertugas sebagai operational facilitator atau bentuknya sebagai pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi, dan alat propaganda. Selain itu, ideological supporter. Maksudnya mereka meregenerasi ideologi jihadnya.
Tetapi belakangan perannya mulai meluas, yaitu juga menjadi visible roles sebagai pelaku bom bunuh diri dan juga bisa sebagai pejuang, penyedia senjata, dan perakit bom.
"Motivasi para perempuan terlibat dalam jaringan terorisme terbagi menjadi tiga faktor, yaitu personal factors, social political concerns, dan personal tragedy/ revenge," jelas dia dalam Seri Diskusi Negara Hukum bertema “Terorisme, HAM, dan Arah Kebijakan Negara”, yang diselenggarakan LP3ES melalui kanal Youtube LP3ES, Jumat (2/4)..
Personal factors adalah perempuan yang dijajah secara pemikiran dengan pemahaman Islam radikal dan posisi perempuan ini tersubordinasi. Kemudian social political concerns terjadi karena perempuan-perempuan yang melakukan aksi terorisme, sejatinya memiliki dendam terhadap suatu golongan tertentu dan mereka mengalami ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan diskriminasi. Sedangkan personal tragedy/revenge disebabkan mereka pernah mengalami kejadian pemerkosaan dan pencabulan.
Terlepas dari persepsi masyarakat mengenai terorisme jaringan perempuan ini, ada kecenderungan perempuan-perempuan yang tergabung dalam jaringan aksi terorisme beranggapan bahwa dengan tergabung menjadi bagian dari terorisme ini, merupakan suatu solusi yang paling baik yang dilakukan oleh mereka.
“Mengapa seperti itu? Saya mengambil dari satu contoh dari social political concerns. Misalnya mereka mengalami ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan diskriminasi. Untuk mendapatkan solusi atas hal-hal demikian itu, mereka akan mendapatkan dengan mudah dari laki-laki yang memiliki pemahaman Islam radikal,” ucap Milda.
Jika melihat tren internasional, salah satu fator penyebab perempuan tergabung menjadi anggota terorisme, karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, terdiskriminasi, tidak mendapatkan keadilan dan sebagainya. Hal itulah yang membuat mereka mencari solusi di internet atau mendapatkan pemahaman radikal dari internet.
“Kalau melihat apa yang terjadi di Mabes Polri dan Surabaya 2018, seakan-akan kita disajikan fakta bahwa perempuan ini adalah pelaku. Tetapi kalau mau melihat kembali secara kritis, sebenarnya perempuan ini juga korban. Mereka itu korban dari jaringan terorisme,” katanya.
Sementara Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahap mengatakan, penanganan kasus terorisme harus tegas. Jika tidak, sampai kapanpun kasus seperti ini tidak akan pernah selesai.
“Kita harus selalu tegas. Dan setiap ada kejahatan harus kita tolak bersama,” katanya
Akses teror di Indonesia merupakan ekor dari problem global (dunia). Maka, jika ingin mengatasinya harus melalui langkah-langkah secara dunia atau disesuaikan dengan standar dunia. Salah satunya war on terrorism.
Tetapi sejak 2000 ketika Perpu dibuat kemudian menjadi UU, Indonesia tidak mengambil langkah perang pada terorisme. Melainkan menggunakan azas hukum pidana.
"Dalam rangka hukum azas pidana ini, ujung permasalahannya adalah pembuktian di pengadilan.” terang Amir
Dengan begitu, maka orang-orang yang terduga, pelaku, pendukung, panganjur aksi teror, harus ditangani sesuai dengan prosedur hukum pidana Indonesia. Penanganannya pun lebih manusiawi dalam arti tidak melanggar HAM.
"Dalam konteks Hak Asasi Manusia tindakan terorisme itu ancaman nyata. Tetapi karena telah mengambil jalan melalui hukum pidana, maka usahakan untuk tidak melanggar hukum HAM," ucap dia.