Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebut di Indonesia ada tiga macam radikalisme. Pertama, adalah radikalisme secara keyakinan. Menurut dia, radikalisme seperti itu ialah orang yang selalu menilai orang lain kafir.
Selain itu, dijelaskan Haidar, radikalisme semacam itu acap kali menilai bahwa seseorang akan masuk neraka kecuali kelompoknya.
"Radikalisme di Indonesia ada tiga macam. Satu radikal secara keyakinan, yang kerjaannya mengkafirkan semua. Semua (dituduh) kafir, semua (dianggap) masuk neraka kecuali kelompok dia," tutur Haidar dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Kamis (14/11).
Selanjutnya, radikalisme jenis kedua adalah secara tindakan. Dalam jenis tersebut, Haidar mencontohkan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Menurut pengamatannya, JAD adalah kelompok yang selalu menghalalkan segala cara, termasuk melakukan pembunuhan atas nama agama.
"Yang ketiga radikal dalam bentuk politik. Ini kelompok yang ingin mengganti ideologi negara yang sah, Pancasila, dengan ideologi khilafah," ucap dia.
Dari ketiga jenis tersebut, Haidar mengatakan jumlah pengikut ketiganya marak di Indonesia. Bahkan, dia sesumbar bahwa saat ini Indonesia dalam situasi yang darurat paham radikal.
Aksi teroris
Pada kesempatan yang sama, pakar intelijen Soleman Ponto mengatakan persoalan utama dalam serangkaian aksi teror bukanlah paham radikal, melainkan tidak adanya kontrol yang ketat terhadap bahan peledak.
Menurut dia, apabila ada yang berpikir radikal itu bisa diselesaikan secara dialog, tidak peduli sampai berapa lama. Menjadi persoalan, lanjut Soleman, adalah ketika seseorang yang berpaham radikal memiliki bahan peledak.
"Sepanjang dia tidak punya akses terhadap bom. Apa pun bom namanya. Mulai dari TNT, untuk petasan, harus terkontrol. Ini yang menurut saya tidak terkontrol," kata Soleman.
Akan tetapi, situasi saat ini, dikatakannya bahan peledak terbilang masih beredar secara umum di publik atau pengendaliannya yang sudah dilakukan tidak benar.
Menurutnya, fokus saat ini harus ke sana karena sedikit sekali orang-orang berbicara pentingnya pengawasan terhadap peredaran bahan peledak.
"Pernah enggak orang ngomong peredaran bom? Enggak ada. Semua terperangkap pada berpikir radikal," tegas dia.
Padahal, menurutnya pengawasan harus dilakukan. Terlebih saat ini sudah ada regulasi yang mengatur tentang bahan peledak.
Untuk kontrol bahan peledak itu, Soleman kemudian mencontohkan ketika dia masih menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Saat itu, dia mengatakan semua bahan peledak, dalam hal ini adalah amunisi aparat TNI, dapat dikontrolnya.
Kontrol yang dilakukan terbilang ketat, bahkan kata Soleman, pengawasan itu mulai dari letak dan standar penyimpanan, siapa anggota yang memegang, berapa jumlah amunisi yang dipegang, dan lainnya memiliki catatan tersendiri.
Terkait aksi bom bunuh diri, Soleman berpendapat polisi menjadi sasaran teror karena saat ini polisi lah yang tampil di depan. Menurut Soleman, serangkaian aktivitas polisi, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam menangani serangkaian teror dan banyak ditayangkan di pelbagai media, memberikan dampak yang besar.
Menurut dia, penayangan penanganan teror tersebut seakan-akan kepolisian ingin menunjukkan bahwa mereka yang sedang menangani kasus.
"Jadi seakan-akan semua ini, semua musuhnya dia (polisi). Sehingga akhirnya bergeser ke sana (menyerang polisi) karena penampilannya," kata dia.
Berangkat dari itu, pada akhirnya wajar jika berbagai tayangan tersebut melahirkan keinginan para pelaku teror melakukan serangan terhadap aparat kepolisian. Hal ini dikarenakan mereka menganggap itu sebagai suatu tantangan.
Di sisi lain, penayangan aktivitas kepolisian tersebut dianggap Soleman dapat mempengarui anak-anak muda yang sedang mencari jati diri.
Lebih jauh, Soleman juga menyinggung penanganan aparat kepolisian yang dinilai malaadminsistrasi. Soleman menganggap selama ini, aparat kepolisian yang acap kali menembak mati terduga teroris merupakan suatu hal yang keliru.
"Ya sudah pasti (dievaluasi). Dengan kata terduga teroris di tembak mati, terduga, diduga saja belum. Dan itu sudah lama, bukan baru sekarang. Sudah ada dua (atau) tiga tahun lalu yang seperti itu (dan) tidak ada evaluasi," ujar dia.