Kementerian Hukum dan HAM atau Kemenkumham mengeluarkan dan membebaskan 35.676 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi terkait pandemi Covid-19. Jumlah itu didapat berdasarkan hasil pendataan pada 8 April 2020.
"Total 35.676 narapidana yang keluar dan bebas," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Rika Aprianti saat dikonfirmasi, Rabu (8/4).
Menurutnya, total tahanan yang keluar dan bebas melalui program asimilasi sebanyak 33.861 orang. Dari jumlah tersebut, 33.078 di antaranya narapidana, dan 783 merupakan anak.
Sementara, total tahanan yang keluar dan dibebaskan melalui program integrasi mencapai 1.815. Dari jumlah tersebut, 1.776 merupakan narapidana, dan 39 orang lainnya berstatus anak-anak.
Pembebasan narapidana dan anak ini akan terus berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia. Kebijakan ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, tertanggal 30 Maret 2020.
Dalam surat keputusan tersebut, disebutkan bahwa pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak merupakan upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di lapas, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan atau rutan, dari pandemi Covid-19.
Pembebasan anak melalui proses asimiliasi, dapat dilakukan untuk narapidana yang sudah menjalani 2/3 dan jatuh pada 31 Desember 2020. Selain itu, ketentuan itu berlaku untuk narapidana anak yang setengah masa pidananya jatuh sampai 31 Desember 2020.
Pembebasan melalui proses asimilasi juga dapat berlaku untuk anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Nantinya, surat kepututusan asimilasi akan dikeluarkan oleh Kepala Lapas, Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau LPKA, dan Kepala Rutan.
Sedangkan proses pembebasan dengan mekanisme integrasi, dapat dilakukan dengan ketentuan bagi narapidana yang sudah menjalani 2/3 hukumannya, dan anak yang sudah menjalani setengah masa pidananya.
Pembebasan melalui proses integrasi juga dapat berlaku untuk anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Nantinya, usulan pembebasan dapat dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan, dan penerbitan surat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
"Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Apabila kemudian hari terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam Keputusan Menteri ini, dilakukan sebagaimana mestinya," demikian penggalan tulisan dalam keputusan tersebut.
Pakar hukum pidana dari Universitas Riau, Erdianto Effendy mengatakan, pemerintah harus mengedukasi masyarakat bahwa kebijakan tersebut bukan berarti membuat para narapidana bebas sepenuhnya. Menurutnya, para narapidana tersebut menjalani pembebasan bersyarat yang tetap dibatasi pergerakannya, khususnya di dalam rumah seperti konsep pidana tutupan..
"Karena dalam keadaan saat menghadapi pandemi Covid-19, kini orang yang tidak menjalani pidana saja juga dibatasi kebebasannya untuk tidak bepergian ke mana-mana," katanya.
Dia pun menyarankan agar negara menyediakan gelang chip untuk para napi, sebagai upaya kontrol dan pengawasan bagi para tahanan dan narapidana yang dibebaskan.