Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta elite tidak tutup telinga atas tragedi Tanjung Priok 1984. “Sampai kapan para pemimpin negara menutup telinga atas suara-suara desakan para korban yang masih berjuang dan didampingi oleh KontraS dan IKOHI? Presiden harus penuhi harapan korban, keadilan, pemenuhan hak, memorialisasi hingga kejelasan mereka yang masih hilang,” ujar Usman dalam keterangannya dikutip, Senin (13/9/2021).
Tepat 37 tahun lalu, lanjutnya, aparat keamanan melakukan penembakan yang berakibat ratusan warga Tanjung Priok kehilangan nyawa dan luka-luka. "Hanya karena aksi damai dan mengekspresikan pikiran serta keyakinan ideologi yang berbeda, pemerintah menuntut mereka secara tidak adil. Tragedi kemanusiaan ini tidak boleh terulang lagi," bebernya.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid, lanjutnya, kemudian merehabilitasi mereka yang diadili secara tidak fair dan mendukung penyelidikan Komnas HAM. Pun Pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menggelar pengadilan HAM ad hoc, namun berujung dengan bebasnya semua terdakwa.
"Pemerintahan Joko Widodo berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus Priok. Tapi hingga kini janji itu mati suri,” kata Usman.
Menurut Amnesty, negara berhutang keadilan kepada keluarga korban dan generasi penerus. "Jika negara ini ingin lepas landas pembangunan, maka pelanggaran HAM harus dituntaskan. Bagaimanapun, tidak adanya penegakan HAM menjadi bukti Indonesia melanggengkan budaya impunitas,” ungkapnya.
“Ini bukan lagi soal kemampuan untuk menyelesaikan, tapi kemauan untuk menuntaskan. Kejaksaan punya peran sangat penting dalam menunaikan hutang keadilan ini. Kami juga menagih janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” pungkas Usman.
Untuk diketahui, tragedi Tanjung Priok pecah pada 12 September 1984, saat aparat militer menggunakan kekuatan dan senjata api secara berlebihan terhadap sebuah demonstrasi yang berlangsung di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Demonstrasi yang dilakukan pada malam hari itu menuntut pembebasan empat warga setempat yang ditahan di Kodim 0502 setelah insiden Musholla As’Sa’adah. Saat itu pula terjadi demonstrasi hingga berakhir dengan kekerasan dan kericuhan yang nyaris menyulut kerusuhan besar di wilayah Koja, Jakarta Utara. Sejumlah warga mengalami luka-luka. Pemimpin demonstrasi tersebut, Amir Biki meninggal dunia.