Pemerintah terus menyempurnakan program Kartu Prakerja. Yang terbaru adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Prakerja. Namun, penyempurnaan program ini masih menuai kritik dari masyarakat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah mengungkapkan, empat persoalan baru yang muncul dalam Perpres baru terkait kelemahan Program Kartu Prakerja.
Pertama, mencerminkan sikap sewenang-wenang Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena memberikan impunitas kepada Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana melalui Pasal 31B Perpres 76/2020. Presiden Jokowi juga menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan oleh platform digital melalui Pasal 31 B ayat (1) dan Pasal 31B ayat (2) huruf c.
“Berdasar, temuan KPK, 5 dari 8 platform digital memiliki konflik kepentingan karena sekaligus bertindak sebagai lembaga pelatihan. Ini menandakan bahwa Presiden Jokowi, tidak mementingkan aspek integritas dalam pembuatan kebijakan," kata Wana dalam keterangan tertulis, Senin (13/7).
Kedua, pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas mengenai Program Kartu Prakerja. Sehingga, menimbulkan inkonsistensi dan kerancuan.
Berdasar, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Program Kartu Prakerja menjadi strategi untuk meningkatkan sumber daya manusia. Namun, Pasal 12A ayat (1) malah menyatakan bahwa pelaksanaan Program Kartu Prakerja sebagai bentuk bantuan sosial dalam masa pandemi Covid-19.
"Pencantuman klausul ini patut diduga hanya untuk menjustifikasi skema penanggulangan Kartu Prakerja sebagai mekanisme bantuan sosial, sehingga tidak perlu menerapkan mekanisme tender untuk memilih mitra platform," jelasnya.
Ketiga, pemerintah menyingkirkan mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagai instrumen untuk memilih delapan platform digital. Pasal 31A menyatakan, pelaksanaan tetap memperhatikan prinsip pengadaan barang yang mana harus transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
Namun, pada saat proses pemilihan delapan platform digital nyatanya pemerintah abai untuk menggunakan prinsip pengadaan. Terakhir, pemerintah terkesan berpihak kepada pengusaha dibanding ke masyarakat. Jika, menilik proporsi anggaran yang diberikan, negara memberikan insentif sebesar Rp5,6 triliun kepada delapan platform digital.
Sedangkan, insentif yang diterima oleh individu tanpa biaya bantuan pelatihan hanya Rp2,55 juta. "Keberpihakan Presiden Jokowi, dapat terlihat dari skema program yang menitikberatkan pada aspek jual beli pelatihan daring yang sebenarnya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat," bebernya.
"Jika, merujuk pada survei Indikator Politik, sebanyak 48,9 persen responden yang ditanya tidak setuju apabila sebagian dana di kartu prakerja digunakan untuk pelatihan daring," tambah dia.