close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Ruang kuliah yang rusak di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, akibat gempa pada 28 September 2018 di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/1)./ Antara Foto
icon caption
Ruang kuliah yang rusak di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, akibat gempa pada 28 September 2018 di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/1)./ Antara Foto
Nasional
Rabu, 06 Februari 2019 08:22

5.000 Babinsa ditolak jadi fasilitator rehabilitasi bencana

Proses pascabencana di Sulteng dinilai lebih baik hanya melibatkan warga dan aparat sipil.
swipe

5.000 Babinsa (Bintara Pembina Desa) mendapat penolakan untuk terlibat dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah. Mereka dilibatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk menjadi fasilitator rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sekjen Pasigala Centre, Andika, menilai pelibatan unsur militer dalam langkah-langkah pascabencana, menunjukkan adanya persoalan pada BNBP. 

"Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu menunjukan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana masih dalam paradigma tanggap darurat," kata Andika di Palu, Selasa (6/2).

Dia menjelaskan, masalah penting yang harus ditangani pascabencana bersifat sosial dan antropologis. Karena itu, Andika menilai pelibatan militer justru akan menimbulkan persoalan.

"Penggunaan Babinsa sebagai fasilitator bencana itu justru menunjukan kesan bahwa negara hendak memaksakan semua maksud dan rencananya agar masyarakat korban mau mengikuti rencana yang telah dibuat tanpa partisipasi korban itu," kata Andika. 

Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu juga mengatakan, yang lebih dibutuhkan dalam proses pascabencana adalah keterlibatan pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, kota, dan aparat sipil, untuk terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurutnya, pelibatan aparat sipil diperlukan dalam konteks desentralisasi sistem penanganan kebencanaan, agar terjadi proses pembelajaran dalam konteks kesiap-siagaan bencana. 

Lebih lanjut Andika menuturkan, diperlukan keterlibatan seluruh aparat sipil dari stakeholder daerah, birokrat, dan juga rakyat, untuk sama-sama melewati tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Andika menekankan, penggunaan aparat militer menunjukan suatu pola sentralisasi penanganan bencana, yang tidak mungkin mencapai substansi pembelajaran mitigatif.

"Pola militerisasi bersifat berdaya paksa dan belum ada cerita ada proses partisipatif di dalamnya. Yang ada adalah kehendak mendisiplinkan orang untuk mau mengikut rencana yang telah dibuat lembaga-lembaga donor pemberi hutang, seperti Bank Dunia, ADB, dan JICA," kata Andhika. (Ant)

img
Gema Trisna Yudha
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan