Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono sebagai saksi terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pendamping Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009-2014 diminta keterangan untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Syafruddin terjerat rasuah karena memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
Namun, setelah diperiksa selama 6 jam, Boediono mengaku ditanya terkait posisi sebagai Menteri Keuangan saat kasus tersebut terjadi.
"Saya dimintai keterangan mengenai beberapa hal yang terkait dengan masa jabatan saya sebagai Menteri Keuangan," kata Boediono jelas Boediono seperti dikutip dari Antara, Kamis (28/12).
Meski demikian, Boediono enggan menjabarkan lebih jauh proses BLBI yang merugikan negara hingga Rp4,58 triliun tersebut. Kala itu, Boediono memang menjabat menjabat sebagai Menkeu di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
"Kalau substansinya saya serahkan kepada KPK untuk menyampaikan mana yang disampaikan, mana yang tidak," sambungnya.
Sebelumnya, KPK telah menahan Syafruddin pada Kamis (21/12) di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur. Ia ditetapkan sebagai tersangka sejak April 2017. Adapun SKL yang diterbitkan tersebut berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menkeu Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK ditemukan kerugian negara Rp4,58 triliun. Dari hasil audit investigatif itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Syafruddin sempat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menolak seluruh permohonannya pada 2 Agustus silam.