Kontras, Kontras Sumatera Utara, dan PBHI yang tergabung dalam Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) menyikapi kasus kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin (TRP).
Tim menilai proses hukum yang berjalan dalam perkara ini belum cukup maksimal menyeret aktor intelektual yang terlibat. Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan sembilan tersangka termasuk Terbit Rencana dan putranya, Dewa Peranginangin.
Pada hasil investigasi TAP-HAM yang terdiri dari LSM Kontras, Kontras Sumatera Utara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), ditemukan sedikitnya 20 aktor yang diduga terlibat dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat.
Keterlibatan banyak pihak ini terdiri dari anggota keluarga TRP, anggota organisasi kemasyarakatan atau pemuda, prajurit TNI, anggota Polri, hingga aparatur sipil negara yang berdinas di Pemda Langkat.
"Proses hukum terhadap 9 pelaku menurut hemat kami tidak cukup, mengingat kasus ini melibatkan orang banyak, sehingga masih banyak pelaku yang saat ini diduga masih bebas berkeliaran," ujar Rahmat selaku perwakilan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara dalam keterangan pers, Senin (21/11).
Selain itu, hasil investigasi TAP-HAM menemukan adanya unsur aparat keamanan yang terlibat, baik mengetahui secara langsung maupun berperan dalam proses penangkapan dan penganiayaan korban penghuni kerangkeng.
Setidaknya, terdapat lima anggota TNI yang telah diproses secara hukum di PM I-02 Medan. Kendati demikian, imbuh Rahmat, penerapan pasal tindak pidana perdagangan orang (TPPO) justru didakwakan kepada pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.
Pendamping hukum dari Kontras, Andrie Yunus mengungkapkan, dari hasil investigasi disimpulkan bahwa kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat bukan merupakan tempat rehabilitasi bagi pengguna narkotika.
Selain itu, korban seluruhnya menjadi korban tindak penyiksaan dan penghukuman kejam yang tidak manusiawi. Dalam perkara ini juga korban dipaksa bekerja di perusahaan sawit tanpa diberi upah, istirahat cukup, dan jaminan ketenagakerjaan.
"Proses hukum yang sedang berjalan semestinya dapat mengungkap lebih dalam soal peristiwa yang terjadi di kerangkeng, dengan tidak berhenti pada aktor di lapangan, melainkan juga menyasar aktor intelektual," ujar Andrie.
Oleh karenanya, TAP-HAM memberikan setidaknya delapan rekomendasi terkait perkara ini. Pertama, kepada Presiden RI Joko Widodo agar memerintahkan Menkopolhukam Mahfud MD untuk memastikan para aparat penegak hukum mengawasi seluruh proses hukum yang berjalan secara adil, transparan, dan akuntabel.
Kedua, kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit agar memerintahkan Kabareskrim Mabes Polri dan karowassidik untuk melakukan pengawasan serta supervisi terhadap para penyidik Ditreskrimum Polda Sumut yang menangani kasus kerangkeng manusia di Langkat.
"Dan segera menyelesaikan berkas perkara tersangka atas nama TRP dan terhadap terduga anggota Polri yang terlibat. Kapolri juga harus memastikan bahwa seluruh proses penyidikan akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan," papar dia.
Ketiga, merekomendasikan agar Panglima TNI memerintahkan kepala pusat polisi militer untuk melakukan proses hukum, termasuk pemecatan secara tidak hormat terhadap prajurit aktif TNI yang terlibat dalam perkara ini.
Keempat, kepada Jaksa Agung agar memerintahkan tim Jaksa Penuntut Umum yang bertugas melakukan penuntutan dalam kasus kerangkeng manusia Langkat, untuk melakukan penuntutan secara maksimal sekaligus melakukan pendalaman terhadap para aktor intelektual.
"Kelima, ketua Mahkamah Agung melalui badan pengawas melakukan pengawasan terhadap para hakim pada Pengadilan Negeri Stabat dan Pengadilan Militer I-02 Medan yang bertugas mengadili para terdakwa kerangkeng manusia untuk menggali kebenaran materiil dan mewujudkan keadilan bagi korban," jelasnya.
Keenam, kepada Komisi Yudisial agar melakukan pengawasan dengan serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku terhadap para hakim pada Pengadilan Negeri Stabat dan Pengadilan Militer I-02 Medan.
Lalu, merekomendasikan agar Komnas HAM untuk proaktif melakukan rangkaian penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer setempat.
"Selain itu, Komnas HAM dapat mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi yang memberikan tekanan agar proses hukum terhadap para terduga pelaku penembakan dapat berjalan secara transparan dan akuntabel," tutur dia.
Terakhir, kepada LPSK untuk tetap melakukan perlindungan terhadap para korban mulai dari setiap tingkatan proses peradilan hingga sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, LPSK juga harus menjamin kompensasi yang menjadi hak para korban.