Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) menilai Omnibus Law Cipta Kerja semakin mereduksi hak-hak buruh. Omnibus Law justru disebut tidak mengakomodir perlindungan hak buruh.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan buruh menolak Omnibus Law Cipta Kerja karena tidak adanya jaminan atas tiga hal pokok yakni jaminan pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security), dan jaminan sosial.
"Kami berpendapat setiap UU yang berbicara tentang bisnis, dia harus berbicara perlindungan hak buruh. Draf Cipta Kerja ini kebalikannya. Bicara investasi tapi salah satu klasternya malah reduksi hak buruh dan ini bertentangan," katanya di Jakarta, Minggu (16/2).
Said menuturkan, dalam RUU Cilaka tersebut, ada sembilan poin yang bertentangan dengan kelangsungan hidup pekerja.
Pertama, di dalam pasal terkait upah minimum dikenal dua istilah upah berdasarkan per satuan waktu dan upah per satuan hasil. Upah per satuan waktu ini artinya upah dibayar per jam. Dengan demikian, ketentuan upah minimum dengan sendirinya hilang.
Omnibus Law ini juga menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK). Padahal, kedua ketentuan upah minimum tersebut lebih dibutuhkan buruh dibandingkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
"Dalam UU Cilaka semua itu dihapus. Kalau tetap dipaksakan UMP apakah masuk akal. Misalnya UMP Jawa Barat Rp1,8 juta; dengan UMK Bekasi Rp4,4 juta. Masak diturunkan ke Rp1,8 juta sesuai UMP. Artinya menghapus UMK 538 kabupaten/kota," jelasnya.
Kedua, tidak adanya perlindungan hukum atau sanksi yang diberikan kepada perusahan yang tidak membayarkan hak buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Musababnya, di dalam Omnibus Law Cipta Kerja disebutkan bahwa upah diberikan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini dinilai dapat merugikan kaum buruh.
"Jadi kalau pihak perusahaan tidak sepakat untuk membayarkan upahnya, ya enggak masalah dan enggak akan ada sanksinya," ujar Iqbal.
Selain itu, ketentuan perumusan upah minimum tidak lagi menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi ditambah dengan kenaikan harga atau inflasi, namun hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja.
Ketiga, ketentuan pesangon dihilangkan. Padahal, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada ketentuan tentang pesangon, penggantian masa kerja, dan penggantian hak. Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, penggantian hak yang harus disepakati kedua belah pihak dihilangkan.
“Kalau salah satu enggak sepakat boleh enggak dibayar," ujar Iqbal.
Keempat, Omnibus Law membolehkan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batasan waktu dan tanpa batasan jenis pekerjaan. Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 65 disebutkan outsourcing hanya untuk jenis pekerjaan penunjang seperti cleaning service, petugas keamanan (security), sopir pribadi, dan jasa katering perusahaan.
“Namun, di draft Omnibus Law Cipta Kerja, ketentuan pasal 65 tersebut dihapus,” kata dia.
Kelima, yang ditolak oleh KSPI secara berurutan adalah jam kerja yang eksploitatif. Keenam, potensi penggunaan tenaga kerja asing buruh kasar yang bebas. Ketujuh, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah.
Kedelapan, hilangnya jaminan sosial bagi pekerja khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Kesembilan, tidak adanya batasan pekerja kontrak.