close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3).Foto Antara/Asep Fathulrahman/hp.
icon caption
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3).Foto Antara/Asep Fathulrahman/hp.
Nasional
Kamis, 23 April 2020 09:04

92 akademisi menolak Omnibus Law Cipta Kerja

Penolakan dikonsolidasikan lewat penyebaran petisi daring untuk menghimpun argumen kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU.
swipe

Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang sarat akan kontroversi dan banjir penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan, kalangan akademisi disebut telah semenjak awal menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pasalnya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dinilai telah menyingkirkan hak rakyat.

Penolakan dikonsolidasikan lewat penyebaran petisi daring untuk menghimpun argumen kritis akademisi secara kolektif terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Hingga April 2020, petisi daring tersebut telah ditandatangani sebanyak 92 akademisi. Tercatat sebanyak tiga professor, dua di antaranya guru besar, 30 doktor, 57 magister, serta dua sarjana.

Penandatangan petisi daring tersebut merupakan simbol penyerahan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR secara terbuka. Sehingga, diharapkan bisa menjadi pertimbangan untuk menghentikan dan mencabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional.

Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti menilai, proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.

“Selama proses perancangan, Pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh Pemerintah dan diserahkan kepada DPR. Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/4).

Senada, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas Yonariza menegaskan, menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. “Substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme-neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan. Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945,” ucapnya.

Setali tiga uang, dosen hukum dari Universitas Trunojoyo Devi Rahayu turut menolak Omnibus Law Cipta Kerja karena isinya dilandasi hasrat menindas kelas pekerja lewat sistem pengupahan berdasarkan jam kerja. Sistem upah berdasarkan jam kerja sangat merugikan karena upah bisa berada di bawah UMP (upah minimum provinsi).

Di sisi lain, upah berdasarkan sistem jam kerja akan secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan terkait hak atas upah saat izin haid, cuti hamil, hingga melahirkan. Para pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja. Sehingga tidak berhak mendapat upah. Padahal, hak-hak pekerja perempuan tersebut merupakan hak dasar yang seharusnya telah dijamin Undang-Undang.

“Pekerja akan semakin gampang di-PHK karena pengusaha tidak lagi wajib memberi Surat Peringatan 1, 2 dan 3. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memberi keleluasaan bagi seluruh jenis kerja untuk dialihdayakan, tidak adalagi pembeda antara bisnis utama dan kegiatan penunjang”, ujar Devi.

Sementara itu, ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia Andri Wibisana mengungkapkan, lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapusnya izin administratif dan sanksi pidana. Pada Pasal 23 Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana terkait aspek lingkungan hidup.

Imbasnya, bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.

“Selain itu, dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” tutur Andri.

Di aspek pertambangan, dosen hukum dari Universitas Mulawarman Haris Retno Susmiyati menilai, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan banyak masalah karena memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan.

“Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan,” ujar Haris.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan