Achsanul perpanjang daftar pejabat BPK di kubangan korupsi
Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini terus mendalami aliran dana Rp40 miliar yang diterima anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, sejak ia berstatus tersangka kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo, Jumat (3/11).
Kasubdit Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Haryoko Ari Prabowo, menyatakan, pendalaman menyangkut beberapa hal, termasuk kemungkinan mengalir ke oknum BPK lainnya.
"Alirannya lagi kita dalami," katanya saat ditemui di Kompleks Kejagung, Jakarta, pada Selasa (7/11) malam. Pendalaman dilakukan dengan memeriksa beberapa saksi, mulai dari sopir pribadi, sekretaris, ajudan, hingga pegawai BPK terkait pada Senin (6/11).
Pendalaman juga mencakup motif pemberian uang Rp40 miliar dari terdakwa cum Komisaris PT Solitech Media Sinergy kala itu, Irwan Hermawan, melalui orang kepercayaannya sekaligus terdakwa, yaitu Windi Purnama, kepada Achsanul pada 19 Juli 2022.
"Masih kami dalami, ya, apakah uang sejumlah Rp40 miliar tersebut dalam rangka untuk memengaruhi proses penyidikan kami atau dalam rangka untuk mempengaruhi proses audit BPK," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi, beberapa waktu lalu.
Penyerahan uang Rp40 miliar tersebut dilakukan di sebuah hotel di Jakarta. Achsanul menerimanya melalui perantara, yang telah berstatus tersangka, Sadikin Rusli. Uang yang diterima merupakan hasil saweran dari para pemenang proyek.
Adapun pemberian uang tersebut sesuai arahan Direktur Utama BAKTI Kominfo kala itu, Anang Achmad Latif. Sebab, sudah merasa megaproyek BTS bermasalah dan akan berujung pada audit BPK. Kominfo merupakan salah satu objek tugas dan wewenang anggota III BPK selain 40 kementerian/lembaga negara lainnya.
Atas perbuatannya, Achsanul disangkakan melanggar Pasal 12 b, Pasal 12 e, atau Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau Pasal 5 ayat (1) UU TPPU. Ia pun telah ditahan selama 20 hari pertama sejak berstatus tersangka di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
Kendati begitu, Kuntadi menegaskan, Kejagung melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara dalam megaproyek BTS 4G. Berdasarkan kalkulasi BPKP, negara buntung Rp8 triliun dalam perkara ini.
"Kami tidak pernah meminta audit kepada BPK. Audit yang kami lakukan lewat BPKP," tegasnya.
Bukan yang pertama
Ditetapkannya Achsanul Qosasi sebagai tersangka menambah panjang daftar pejabat BPK yang terjerat kasus korupsi. Ini tentu miris mengingat BPK merupakan lembaga yang salah satu tugasnya mencegah penyimpangan uang negara.
Sebelumnya, bekas Ketua BPK, Hadi Poernomo, pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT BCA pada 1999 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, perkara ini dilakukan berkaitan dengan jabatan sebelumnya di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ia lantas mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jaksel. Permohonannya diterima sehingga statusnya sebagai tersangka gugur.
Selain itu, anggota IV BPK, Rizal Djalil, terjerat kasus dugaan suap pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM). Ia pun divonis 4 tahun penjara dan membayar denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap S$100.000 atau sekitar Rp1 miliar.
Kemudian, pemeriksa madya BPK, Medi Yanto Sipahutar, disebut terdakwa menikmati uang haram dari proyek jalur kereta api. Ada pula yang menerima suap dari eks Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, dan mantan Bupati Bogor, Ade Yasin, agar masing-masing pemerintah daerah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK.
Bahkan, pegawai BPK disebut-sebut turut menikmati uang korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam kasus tersebut, negara rugi sekitar Rp27.6 miliar.
Pangkal masalah
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigid Riyanto, menyampaikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan audit BPK rentan "diperdagangkan". Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang memuat kebenaran tentang kerugian negara menjadi delik materil.
"Artinya, hasil audit menjadi bagian yang dapat membuktikan ada tidaknya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena dengan hasil audit bisa menjadi ada tidaknya perbuatan korupsi," tuturnya saat dihubungi Alinea.id.
Berikutnya, lemahnya pengawasan sehingga potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) kian besar. Apalagi, kekuasaan membuka peluang besar pada ekses ekonomi yang tinggi.
"Memang selama ini susah untuk menjadikan manusia betul-betul clear kalau satu, memang tidak didukung moralitas yang tinggi; yang kedua, ketika masih ada kepentingan di balik itu; yang berikutnya, intinya, ketika pengawasan intern menjadi lemah, orang bebas seolah-olah tanpa pengawasan dari pihak luar," bebernya.
Sigid melanjutkan, pengawasan BPK oleh DPR belum maksimal karena masih banyak auditor negara yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Ia menyarankan memperketat proses seleksi dan adanya pengawasan dari eksternal.
"Oleh karena itu, menjadi bagian yang penting [dilakukan sekarang] pertama, proses seleksi menjadi lebih ketat. [Kedua] mestinya ada pengawasan dari jajaran berkaitan dengan pelaksanaan tugas oleh pejabat publik," jelasnya.
"Ambil contoh seperti saat ini, adanya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ini, kan, terlepas apa pun hasilnya, yang jelas putusan MK dikoreksi oleh lembaga independen yang orangnya betul-betul independen," sambung eks Dekan Fakultas Hukum (FH) UGM itu.