Kabupaten Sidoarjo melahirkan kembali tersangka korupsi untuk ketiga kalinya. Yakni, Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor sebagai tersangka kasus dugaan pemotongan insentif ASN di lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo.
Seniornya, Win Hendarso dan Saiful Ilah juga tersandung kasus suap dan gratifikasi.
Win Hendarso merupakan Bupati Sidoarjo yang menjabat dari tahun 2000 sampai 2010. Sementara Saiful Ilah memimpin Kota Delta dari 2010 hingga 2020.
Pakar Hukum Universitas Airlangga, Iwayan Titib menilai, tidak heran bila korupsi terjadi seperti itu. Apalagi pejabat daerah butuh uang cepat untuk segera balik modal setelah jor-joran mengucurkan dana saat pemilihan kepala daerah.
Iwayan menyadari, mengutip anggaran daerah untuk kepentingan pribadi bisa dilakukan ketika seseorang berkuasa. Maka, skema pengambilan sedikit laba dari anggaran itu akan digunakan untuk mengembalikan pinjan yang dipakai saat pemilihan.
“Karena ada niat korupsi untuk mengembalikan biaya kampanye pilkada,” kata Iwayan Titib kepada Alinea.id, Minggu (21/4).
Sosiolog Universitas Airlangga, Tuti Budirahayu menekankan, perilaku korupsi bukan berangkat dari kehidupan masyarakat. Khususnya warga Sidoarjo. Namun, mereka memanfaatkan momen berkuasa supaya memberikan keuntungan. Baik untuk diri sendiri maupun kelompok.
Jadi persoalan korupsi, katanya, berkaitan dengan integritas dan tanggung jawab moral kepada masyarakat. Pemimpin yang berintegritas, bisa dilihat dari kinerja dan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Semakin berintegritas, maka kesejahteraan masyarakat dan wilayahnya akan semakin baik.
“Lihat angka kemiskinan, kondisi tata kota atau tata wilayah, atau indikator-indikator lainnya yang menunjukkan komitmen pemimpin dalam mengalokasikan dana-dana pendapatan daerah untuk kemakmuran dan kesejahteraan warganya,” ujar Tuti kepada Alinea.id, Sabtu (20/4).
Hal ini pun bukan hanya sebagai perilaku menyimpang, tapi kejahatan luar biasa. Menurutnya, karena para koruptor itu selain mengkhianati bangsa dengan merampok kekayaan negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya, juga perilaku mereka menyengsarakan masyarakat.
Padahal, masyarakat seharusnya bisa hidup sejahtera, dengan kehidupan yang lebih makmur. Belum lagi, didukung pula dengan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang terjamin.
“Persoalan sanksi sosial saya rasa ditujukan langsung kepada pelaku korupsi, bukan ke lembaga, institusi atau kelompok,” ucapnya.
Sementara, Pakar Politik Universitas Airlangga, Ali Sahab meyakini kasus ini tidak akan mengurang elektabilitas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mengingat ketiganya terafiliasi dengan partai tersebut.
Sebab, masyarakat dinilai bisa membedakan terkait partai dan individu. Ia berkaca pada fenomena di Bupati Kutai Kertanegara Saukani dan dilanjut anaknya Rita.
“Mereka korupsi tapi di mata masyarakat relasinya sangat baik. Ini menunjukkan tidak ada korelasi positif antara korupsi dan relasi dengan masyarakat atau dengan partainya bupati,” ucap Ali Sahab kepada Alinea.id, Sabtu (20/4).