Ada celah hukum buat kocok ulang semua hakim konstitusi
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan dugaan pelanggaran pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/11). Salah satu hasilnya, Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Sejumlah kalangan menyebut, kalau putusan itu, mencederai persamaan di muka hukum dan melukai rasa keadilan dari warga. Bahkan menyebut kalau peradilan MKMK ini kembali mengulang kesalahan yang sama.
Putusan MKMK cenderung berkompromi dengan perbuatan tercela Ketua Hakim MK. Selain itu, putusan MKMK ini gagal menjawab kebutuhan mendesak penyelamatan MK dari krisis kepercayaan publik akibat skandal putusan bermasalah yang memberikan karpet merah untuk Wali Kota Solo yang merupakan keponakan Anwar Usman dan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang berhasil maju sebagai cawapres.
"Membenarkan keraguan publik terhadap MKMK yang hanya bersifat ad hoc dan komposisi majelis kehormatan MK yang diduga kuat juga memiliki konflik kepentingan dalam perkara ini," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana dalam keterangannya, Rabu (8/11).
Keberadaan Anwar Usman diyakini bakal menjadi beban dan bom waktu bagi MK ke depan terkait dengan isu integritas, independensi, dan imparsialitas MK untuk menjalankan tugas beratnya sebagai penjaga demokrasi dan konstitusi. Putusan etik ini menjadi preseden buruk dan menunjukkan bahwa MK sekarang adalah “MK yang masih bermasalah dan rusak”. Sehingga tidak pantas dan tidak masuk akal untuk mempertahankan orang yang terbukti tidak layak menjadi hakim Mahkamah Konstitusi.
Untuk menyelamatkan Indonesia dari semakin dalamnya kerusakan sendi-sendi dasar bernegara termasuk didalamnya negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, maka tidak ada pilihan selain MK dengan harus dibersihkan dari hakim-hakim yang bermasalah secara integritas, independensi, dan imparsialitas.
"YLBHI mendesak Anwar Usman sebagai pelaku nepotisme untuk tahu diri dan segera mengundurkan diri sebagai hakim Mahkamah Konstitusi karena tidak lagi pantas menduduki jabatan tersebut," kata dia.
Untuk meminta hakim MK mengundurkan diri, tentunya akan sulit karena itu sangat bergantung pada hakim konstitusi itu sendiri. Untuk itu, pengamat tata negara FH UPN Veteran Jakarta Wicipto Setiadi mengatakan, sebenarnya ada celah yang bisa dipergunakan untuk memundurkan hakim konstitusi secara legal. Di mana, hal itu termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 2O2O tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2OO3 tentang Mahkamah Konstitusi.
Di mana pada Pasal 23 ayat (1) menjelaskan soal hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan hormat dengan alasan: meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi; telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; atau sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Yang menarik ada di ayat (2), yang menyebutkan, hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila: dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; melakukan perbuatan tercela; tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; melanggar sumpah atau janji jabatan; permintaan sendiri; dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan; melanggar larangan rangkap jabatan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi.
"Sementara kalau kita perhatikan, putusan MKMK menyebutkan kalau semua hakim konstitusi melanggar etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Itu berarti, ada celah untuk mengocok ulang hakim konstitusi," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Rabu (8/11).
Mengocok ulang semua hakim konstitusi jauh lebih baik, bila dibandingkan dengan hanya meminta hakim konstitusi mundur. Sebab itu dimaksudkan untuk menjaga marwah Hakim Konstitusi. Juga tentunya menjaga kredibilitas MK di masyarakat. Apalagi dalam waktu dekat, MK bakal menerima pengaduan sengketa pemilu.
"Memang sangat frontal dan ekstrem. Tetapi kalau situasinya begini, masyarakat sudah tidak menaruh kepercayaan kepada MK dan MK sudah tidak ada wibawanya, akan lebih baik mengocok ulang semua hakim konstitusi," ucap dia.
Lantas apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini? Deputi Direktur PSHK Fajri Nursyamsi mengatakan, dari putusan 90 dan Putusan MKMK, masyarakat bisa belajar bahwa posisi konflik kepentingan bagi hakim adalah hal yang harus dihindari karena akan berdampak kepada pelanggaran etika sebagai hakim.
Apa yang menjadi putusan MKMK seharusnya menjadi standar bagi hakim MK ke depan, termasuk perlu dipahami juga oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan mengisi jabatan hakim MK. Seperti diketahui, hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
"Dari mulai rekrutmen hakim MK harus dipastikan rekam jejaknya. Buat fit and proper test yang partisipatif dan transparan. Lalu ketika menjabat, harus ada rasa tangung jawab bersama dalam memastikan tidak ada hakim MK yang akan melanggar etika lagi. Bagi oleh pihak internal MK atau eksternal," kata dia saat dihubungi Alinea.id.
Kendati begitu, dia menilai tidak perlu melakukan kocok ulang semua hakim konstitusi. Cukup melaksanakan saja putusan MKMK, karena ada yang tidak terbukti melanggar etik juga, dan yang melanggar sudah ada sanksinya.
"Tetapi menurut saya ya, hakim AU seharusnya mundur dari jabatannya. Karena posisinya yang punya kekerabatan yang dekat dengan presiden membuatnya berpotensi dalam melakukan judicial review UU apapun, dan oleh putusan MKMK sudah dilarang ikut perkara sengketa pemilu di MK. Jadi ya mau bertugas dalam perkara apa lagi?" tanya dia.
MK sendiri dalam waktu dekat bakal kelimpahan banyak kasus terkait perlanggaran pemilu. Hal itu bakal menjadi tantangan yang kuat bagi MK untuk membuktikan netralitas. Tetapi proses dan putusan MKMK kemarin, setidaknya sudah meluruskan atau bahkan menaikkan standar etik hakim MK saat ini, dan semoga tidak ada lagi hakim MK yang mau main-main dan mencoba untuk tidak netral.