Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hairansyah, menyampaikan, menemukan lima pelanggaran HAM yang terjadi pada demonstrasi 24 September 2019-30 September 2019. Pelanggaran itu menyangkut hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak anak, hak atas rasa aman dan hak atas kesehatan. Selain itu, komisi yang dipimpin oleh Ahmad Taufan Damanik, turut menyimpulkan aksi 24 September 2019-30 September 2019 adalah implementasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sedangkan dalam penanganannya, polisi dianggap sudah memberikan fasilitas pengamanan hingga batas waktu sesuai regulasi yang berlaku, yaitu pukul 18.00. Kendati demikian, pada malam hari polisi tidak mematuhi prosedur.
"Tidak dipenuhinya prosedur dalam pengamanan aksi massa pada malam hari oleh kepolisian sehingga terdapat korban luka dan meninggal dunia," jelas Hairansyah saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (9/1).
Demonstrasi 24 September 2019-30 September 2019 diketahui sebagai unjuk rasa besar pasca-Reformasi 1998. Aksi itu dilakukan di berbagai daerah. Massa aksi membawa tuntutan penolakan revisi UU KPK, RKUHP, dan beleid lain yang dianggap kontroversial.
Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran prosedur tetap (protap) polisi yang meliputi penggunaan kekerasan, pembatasan akses terhadap terduga pelaku, lambannya penanganan medis dan terbatasnya akses bantuan hukum.
Selain itu, polisi bersama pemerintah daerah dianggap tidak siap dalam antisipasi kesehatan. "Ketidaksiapan Polri dan pemda dalam antisipasi fasilitas kesehatan dalam penanganan aksi massa," jelas dia.
Berdasarkan itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR Puan Maharani agar melibatkan multistakeholder dalam penetapan kebijakan, penyediaan dalam rangka demokrasi untuk fasilitas unjuk rasa, memastikan penegakan hukum oleh kepolisian dan pemulihan terhadap korban.
Rekomendasi untuk polisi adalah penegakan hukum bagi anggotanya yang terbukti melanggar HAM. Sementara bagi kepala daerah melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk fasilitas layanan kesehatan saat unjuk rasa dan mendorong proses pemulihan trauma pada korban, khususnya anak.
Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Amiruddin mengatakan, temuan itu untuk mengingatkan instansi terkait yang bertanggung jawab tentang korban demonstrasi. Sebab, dalam unjuk rasa 24 September 2019-30 September 2019 memakan korban jiwa.
"Ini sebuah hal yang ingin kami ingatkan, supaya kita tidak terus berada di dalam situasi yang sama dan terus terulang, sehingga ada korban jiwa, tetapi tidak pernah ada pelakunya (yang) bisa ditindak secara hukum," ucap dia.
Untuk diketahui, lima orang yang meninggal itu adalah Bagus Putra Mahendra (15), Maulana Suryadi (23) Akbar Alamsyah (19) Immawan Randi (22) dan Yusuf Kardawi (19). Polisi baru menetapkan anggota Polda Sulawesi Tenggara, Brigadir AM sebagai tersangka atas penembakan terhadap Randi. Sementara sisanya belum diketahui pelakunya.
Dalam laporan Komnas HAM, hingga 15 Oktober 2019 terdapat 1.489 orang ditangkap di Jakarta akibat menyampaikan pendapat di muka umum pada 24 September 2019-30 September 2019. Dari jumlah itu, 1.109 orang dinyatakan tidak bersalah. Sementara 308 demonstran berstatus tersangka.
Dari 308 orang itu, 218 tersangka ditangguhkan, 92 demonstran proses hukum diselesaikan melalui diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, dan 70 orang lainnya ditahan.