Ada motif ekonomi dan politik dibalik hoaks Pemilu 2024?
Tahapan Pemilu 2024 sudah masuk ke pekan krusial. Di mana, berdasarkan informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam waktu dekat, ada dua tahapan krusial yang bakal berlangsung, yaitu penetapan pasangan capres dan cawapres pada 13 November 2023 dan tahapan kampanye pada 28 November 2023.
Kendati KPU belum menetapkan pasangan capres dan cawapres serta tahapan kampanye belum berlaku, tetapi sejatinya kedua tahapan itu sudah berlangsung sejak jauh hari. Terutama, di sosial media.
Buktinya, ada saja tim kampanye atau pendukung pasangan tertentu yang share informasi mengenai pasangan yang didukungnya atau bahkan kompetitor yang bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Tentu sepanjang itu mengikuti kaidah norma sosial yang berlaku, tidak ada persoalan jika itu dilakukan. Hanya saja, cukup banyak informasi yang di-share cenderung masuk dalam kategori hoaks.
Penyebaran hoaks pada tahun politik yang beredar di sosial media di berbagai platform, sebenarnya bukan hanya terjadi pada kali ini. Namun pada kali ini, frekuensi penyebaran hoaks di berbagai platform, dinilai lebih tinggi dari Pemilu 2019. Platform penyebarannya pun relatif lebih beragam dan sebagian besar berbentuk video.
Soal itu, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengonfirmasikan, memang benar terjadi kenaikan penyebaran hoaks terkait pemilu pada saat ini. Di mana pada Pemilu 2019, Mafindo hanya menemukan 1.200 hoaks dalam setahun.
"Padahal dari Januari-September 2023, kami menemukan 1.731 hoaks di berbagai platform dan 50% di antaranya adalah isu politik atau arahnya ke situ. Paling dominan terkait dengan saling serang kubu pendukung peserta kontestasi. Baik itu bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden, hingga parpol tertentu. Kami juga sudah menemukan hoaks yang diarahkan ke lembaga penyelenggara pemilu, baik itu KPU ataupun Bawaslu. Kendati masih sedikit, ada juga yang mengarah ke lembaga survei dan media," papar dia saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (4/11).
Menariknya, seiring dengan bertambahnya platform sosial media berbasis video seperti TikTok dan Snack Video, Mafindo juga menemukan, kalau hoaks dalam bentuk video mendominasi menjelang Pemilu 2024. Hal itu berbeda dengan hoaks yang beredar menjelang Pemilu 2019, di mana bentuk teks dan foto mendominasi penyebaran hoaks.
Padahal untuk melakukan verifikasi fakta, hoaks dalam bentuk video, jauh lebih sulit daripada dalam bentuk teks atau foto. Makanya, Septiaji khawatir kalau jumlah hoaks video yang beredar di media sosial yang belum terverifikasi jauh lebih banyak. Apalagi jika pembuatan video tersebut mempergunakan AI, seperti video Presiden Jokowi menggunakan bahasa Mandarin dengan fasih. Maka, verifikasi yang dilakukan bakal jauh lebih sulit, padahal sumber daya yang dimiliki Pefindo relatif terbatas.
Hal itu diduga karena membuat hoaks dalam bentuk video relatif gampang, lebih emosional, ada suaranya, dan yang paling utama, kreator bisa mendapatkan uang dari AdSense. Hal itu diperparah dengan adanya indikasi kalau tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah dan penyelenggara Pemilu 2024 cenderung tidak setinggi Pemilu 2019.
"Mereka juga dapat insentif kalau berupa video. Bisa mendapatkan iklan. Ini yang juga membedakan dengan 2019. Makanya kami khawatir, ada industri yang bermain. Industri membuat kanal yang pro terhadap salah satu kubu," duga dia.
Namun, tentunya hal itu perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, secara kasat mata, susah untuk membedakan apakah kanal tersebut dibuat pendukung pasangan calon tertentu atau industri. Makanya, dia berharap agar pihak berwenang mencari tahu hal ini.
"Ini yang harus kita dorong. Aktor seperti itu, jelas bukan bagian demokrasi. Mereka berbeda dengan yang sesekali menyebarkan hoaks atau misinformasi. Kanal-kanal seperti itu, seharinya bisa memproduksi 4-5 video. Padahal, yang kami duga melakukan hal serupa ada 30 kanal dan terbagi dalam berbagai platform. Kalau satu kanal ditutup, mereka akan membuka baru. Ini jelas ada motif ekonomi dan politik," papar dia.
Jelas sudah, kalau tindakan seperti itu bukanlah sebuah kebebasan berpendapat. Mereka sengaja menyebarkan hoaks untuk motif ekonomi dan politik. Untuk itu, Mafindo menyarankan, agar Kemkominfo atau KPU mencari tahu pemilik kanal tersebut dan membawa ke ranah pidana. Karena mereka mendapatkan keuntungan dari aktivitas ilegal yang merela lakukan, yakni melakukan adu domba masyarakat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik.
Apalagi sebenarnya, semua bakal calon presiden dan wakil presiden sudah memberikan rambu-rambu kepada tim kampanye, agar tidak melakukan kampanye negatif dan kampanye hitam untuk menjatuhkan kompetitor yang mengikuti kontestasi Pilpres 2024.
"Kami juga mengharapkan agar semua bakal calon presiden dan wakil presiden tidak hanya memberikan imbauan larangan melakukan kampanye negatif atau hitam. Tetapi juga memberikan sanksi kepada anggota tim kampanye yang ketahuan melakukan itu," harap dia.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengampanyekan Pemilu Damai 2024 dan membentuk Satuan Tugas Anti Hoaks.
“Kami sudah membentuk Satgas Anti Hoaks di Kominfo yang memang tugas kami adalah melakukan penjelasan ke masyarakat. Nanti semua berita-berita palsu atau berita bohong itu kami stempelin hoaks,” jelas Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam keterangan resminya, Kamis (2/11).
Menteri Budi Arie menjelaskan arahan kepada Satgas Anti Hoaks, agar setiap informasi keliru, baik berkategori hoaks, disinformasi, maupun misinformasi semuanya dilabeli stempel hoaks.
“Saya sudah instruksikan ke Satgas Anti Hoaks, tidak usah membeda-bedakan mana disinformasi, misinformasi, malinformasi. Langsung saja semua distempelin hoaks. Biar publik gampang menangkapnya.” ujarnya.
Menkominfo menegaskan kenetralan institusi Kementerian Kominfo dalam menindak pelaku penyebaran hoaks, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu sejalan dengan peran strategis Kementerian Kominfo dalam menjaga ruang digital selama Pemilu 2024 berlangsung.
“Kami di Kominfo netral, siapapun kandidatnya, siapapun partainya kalau difitnah bisa melaporkan kepada kami,” tandasnya.
Soal proses hukum, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP).
“Kalau soal hukumnya, kami mengacu kepada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pokoknya kalau melanggar hukum, kami serahkan ke penegak hukum,” tegasnya.