close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di Lapas Klas 1A Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/7/2019). Foto Antara
icon caption
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di Lapas Klas 1A Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/7/2019). Foto Antara
Nasional
Kamis, 02 April 2020 12:57

Ada yang janggal dengan rencana pembebasan napi korupsi

Menteri Hukum dan HAM berencana melepas koruptor dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
swipe

Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merasakan kejanggalan dengan rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laloly membebaskan narapidana korupsi, guna menangkal penularan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Adapun rencana Yasonna untuk melepas koruptor itu dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz menganggap, pencegahan penularan Covid-19 di lapas hanya sebuah alasan Yasonna membebaskan napi korupsi. Sebab, rencana itu sudah lama ingin dicanangkan oleh politikus PDIP itu, namun tak kunjung terealisasi.

"Kami melihat ini adalah kerjaan dan agenda yang tertunda sudah sejak lama. Corona hanya justifikasi saja," kata Donal, saat konfrensi pers secara online, Kamis (2/4).

Berdasarkan catatan ICW, setidaknya sudah lima kali Yasonna melontarkan wacana revisi itu dalam kurun waktu 2015-2020. Empat di antaranya, terjadi pada 2015, 2016, 2017, dan 2019.

"Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman," ujar Donal.

Padahal, PP tersebut dianggap sebagai aturan progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Hal itu terlihat dari adanya penghapusan syarat justice collaborator hingga meniadakan rekomendasi penegak hukum terkait.

"Dapat disimpulkan sikap dari Menteri Hukum dan HAM selama ini tidak pernah berpihak pada aspek pemberantasan korupsi," kata Donal.

Senada dengan Donal, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menganggap, rencana pembebasan napi koruptor yang digagas Yasonna, seperti pencuri ingin merampok di tengah kondisi bencana.

"Ini semacam 'merampok disaat suasana bencana'. Kira-kira begitu. Dia masuk, menyelinap di tengah kepentingan yang berbahaya," kata Isnur.

Baginya, rencana tersebut telah melupakan landasan berfikir pemberian penjeraan yang dibangun oleh undang-undang. Pertama, tindak pidana korupsi (tipikor) tergolong kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime.

"Sekarang seolah dihapus bahwa korupsi kejahatan biasa. Dia menyamakan maling ayam dengan maling uang negara, uang rakyat. Itu berbahaya," ucap dia.

Kedua, rencana tersebut bertentangan dengan putusan uji materi atau judicial review yang dilayangkan Oce Kaligis dan Surya Dharma Ali ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017.

"Oce Kaligis dan SDA, pernah menguji Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 65 tentang pemasyarakatan. Intinya mereka berpendapat bahwa, pembatasan remisi di PP itu diskriminatif, dan MK menyatakan itu bukan tindakan diskriminatif," ujar dia.

"Jadi, kalau ada argumentasi pemerintah atau pejabat manapun, yang menyebutkan bahwa PP ini diskriminatif, berarti dia menyepelekan, melecehkan, dan tidak menghormati hukum. Dia tidak hargai keputusan MK. Ucapan itu juga inkonstitusional. Pemerintah harusnya tidak otak-atik PP 99 Tahun 2012 lagi," tambahnya.

Ketiga, rencana tersebut menampilkan kemunduran kinerja pemerintah dalam membangun bangsa. Seharusnya, perubahan dapat dilakukan untuk memberi jera kepada pelaku korupsi.

Apalagi daya tampung lapas koruptor belum terjadi kelebihan seperti napi tindak pidana umum. Hal itu diyakininya dengan melihat kondisi Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.

"Kalau kita lihat, napi koruptor di Lapas Sukamiskin itu masing-masing dapat kamar. Tidak seperti di Rutan Cipinang atau Salemba yang bahkan tidur pun enggak bisa," kata dia.

Oleh karena itu, Isnur menyarankan agar pembebasan narapidana untuk antisipasi Covid-19 harus diprioritaskan untuk daya tampung lapas yang sudah berlebihan. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk mengurangi kelebihan muatan narapidana di lapas dapat tercapai . 

"Harusnya yang lebih diutamakan yang overcloud, dimana satu blok, satu ruangan tahanan desek-desekan. Itu yang diutamakan gitu. Perbedaan itu harus dilihat juga dengan kondisi real," ujar dia.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan