Ahli Pidana Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ahmad Sofyan, memandang status AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam kasus penganiayaan David Ozora oleh Mario Dandy cs dapat dilepaskan bila keluarga korban memberikan maaf. Hal ini juga dapat dimasukkan dalam konteks restorative justice.
Sofyan mengatakan, ketentuannya dapat dilihat dari ancaman pidana yang kurang dari tujuh tahun maka dapat dilakukan mediasi. Namun, bila tidak, maka pilihannya dapat tetap dilanjutkan proses hukum atau restorative justice dengan mediasi dari kepolisian hingga nanti penetapan dari pengadilan.
"Kalau kurang tujuh tahun bisa restorative justice dengan keluarga pelaku dan korban bila dimaafkan maka dikembalikan ke keluarga. Tapi, kalau lebih tujuh tahun bisa restorative justice bisa engga. Nanti bisa dimoderasi oleh polisi dan ada ketetapan pengadilan jika tidak sepakat maka proses hukum berlanjut," katanya di Polda Metro Jaya, Kamis (2/3).
Ia pun menyarankan supaya AG tidak perlu menjalani proses penahanan. Proses tersebut hanya dapat dilakukan bila AG dikhawatirkan melarikan diri, melakukan tindak pidana lainnya, atau bahkan merusak barang bukti.
Terlebih, bila keluarga AG dapat menjamin putrinya tidak melakukan tindakan di atas. Kejujuran AG sangat diperlukan dalam kasus ini.
"Untuk penahanan sebaiknya dihindari," ujarnya.
Sebelumnya, kepolisian menaikan status AG menjadi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Hal itu sesuai Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Hariyadi mengatakan, penetapannya dilakukan setelah berbagai kajian dengan beberapa pihak seperti Kemen PPA, KPAI, hingga ahli pidana anak.
“Kami meningkatkan status dari saksi menjadi anak yang berhadapan hukum,” kata Hengki dalam konpers di Polda Metro Jaya, Kamis (2/3).
Hengki menyebut, peran dari AG belum dapat dijabarkan lebih lanjut dalam konferensi pers di hadapan para wartawan. Lantara, ada aturan formil yang mengikat keterangan tersebut.
“Yang jelas (AG) ada di TKP,” ujarnya.
Hengki menyampaikan, selama proses ini ada perubahan pada keterangan yang dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di awal penyelidikan. Namun, polisi langsung membongkar melalui digital forensik.
Pemeriksaan digital forensik dilakukan terhadap aplikasi perpesanan Whatsapp serta CCTV. Alhasil, BAP yang sebelumnya berisi tentang perkelahian menjadi penganiayaan.
Hengki mengaku masih banyak keterangan yang perlu dikejar penyidik. Seperti, konsumsi minuman keras oleh tersangka yang kabarnya sebelum kejadian.
Maka dari itu untuk meningkatkan efektivitas penyidikan yang ada, kasus akan dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Sebab, penyidikan dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Selatan dengan supervisi oleh Polda Metro Jaya.
“Nanti dilimpahkan ke Polda Metro supaya efektif,” ucapnya.
Penyidik menjerat AG dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak, Pasal 355 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 KUHP subsider Pasal 354 (1) juncto Pasal 56 lebih subsider Pasal 353 (2) juncto Pasal 56 lebih lebih subsider Pasal 351 (2) juncto Pasal 56 KUHP.