Ketua SETARA Institute Hendardi, mengingatkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk segera berbenah selepas perkara penembakan terhadap Brigadir Yosua atau Brigadir J ini usai. Pembenahan dapat dilakukan dengan menyusun langkah lanjutan sebagai bentuk agenda reformasi Polri.
Agenda reformasi Polri dalam waktu yang cukup lama telah mati suri dan kehilangan arah. Gerak perbaikan Polri selama ini lebih bergantung pada kepemimpinan Kapolri yang menjabat tanpa desain holistik dan berkelanjutan.
“Segera setelah semua langkah presisi dilakukan Kapolri dalam merespon prahara di tubuh Polri, tugas mendesak Kapolri adalah menyusun langkah-langkah strategis lanjutan sebagai agenda reformasi Polri,” kata Hendardi dalam keterangan, Kamis (25/8).
Hendardi menyebut, reformasi Polri semata-mata mengandalkan aturan-aturan internal Polri yang daya ikat, tingkat kepatuhan dan akuntabilitas kinerjanya sulit diukur dan sulit diakses oleh publik. Jika dilacak, baik pemerintah maupun DPR sebagai lawmakers dan juga mitra Polri, tidak ditemukan produk kebijakan yang menggambarkan desain reformasi Polri itu.
Menurutnya, dengan cakupan mandat yang sangat luas, menyusun detail agenda reformasi Polri adalah kebutuhan aktual. Sehingga beberapa fakta dan dugaan tentang masalah-masalah di tubuh Polri, serta aspirasi publik agar Polri lebih akuntabel bisa terjawab.
Hal itu sesuai dengan desain konstitusional dan legal sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat 4 UUD Negara RI 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal menunjukkan Polri sebagai organisasi negara di bawah presiden dengan tugas menjaga keamanan, melindungi dan mengayomi masyarakat, dan tugas penegakan hukum.
Ia mengungkapkan, beberapa agenda yang mengemuka pascaperistiwa Duren Tiga harus dicatat dan direformulasi, seperti soal tata sekolah kedinasan, penguatan peran Kompolnas, kualifikasi keanggotaan di tubuh Propam Polri, disparitas penanganan dan perlakuan kasus, ketundukan Polri pada supremasi sipil, pembangunan karakter polisi sipil, dekonstruksi kultur Polri, transparansi dan akuntabilitas penyidikan, dan lain-lain menemukan momentumnya untuk ditata.
“Reformasi Polri harus menjadi agenda publik luas sehingga mampu menangkap sebagian besar suara rakyat, suara lirih para korban, dan mandat konstitusional legal eksistensi Polri sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum,” ungkap Hendardi.
Terkait kasus ini, sidang kode etik terhadap Irjen Ferdy Sambo masih berjalan dan dihadiri oleh sejumlah saksi dari berbagai tempat khusus (patsus). Sidang ini merupakan imbas atas penembakan terhadap Brigadir Yosua atau Brigadir J dan Ferdy Sambo menjadi dalang utamanya.
Kabagpenum Ropenmas Divisi Humas Polri, Kombes Nurul Azizah mengatakan, ada lima saksi dari Patsus Brimob, lima orang lagi dari Patsus Provos Propam Polri, dan tiga orang dari Patsus Bareskrim. Sementara ada dua orang lainnya, HM dan MB dari luar patsus.
"Total ada 15," kata Nurul di Mabes Polri, Kamis (25/8).
Mereka yang berasal dari Patsus Brimob adalah Brigjen Hendra Kurniawan, Brigjen Benny Ali, Kombes Agus Nurpatria, Kombes Susanto dan Kombes Budhi Herdi.
Sementara, saksi dari Patsus Provos adalah AKBP Ridwan Soplanit, AKBP Arif Rahman, AKBP Arif Cahya, Kompol Chuk Putranto dan AKP Rifaizal Samual.
Saksi dari Patsus Bareskrim ada Bripka Ricky Rizal, Kuat Maruf, dan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.
"(Bharada) RE hadir melalui zoom," ujar Nurul.