Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Dari pantauan Alinea.id, dia keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 14.30 WIB.
Kepada wartawan, pria yang akrab disapa Aher itu mengaku dikonfirmasi ihwal fungsi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dia menjelaskan, badan tersebut hanya berfungsi untuk memberikan rekomendasi atas izin ataupun nonizin sebelum proses tersebut ditindak oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPM PSP).
"Saya jelaskan. Izin atau nonizin ada kaitan dengan tata ruang maka izin atau nonizin itu dikeluarkan oleh DPM PSP, harus ada rekomendasi dari BKPRD," terang Aher, di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (27/8).
Dia menerangkan, semula BKPRD itu dipimpin oleh Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa. Namun, setelah itu digantikan oleh mantan Wakil Gubernur Deddy Mizwar.
Kemudian, kata Aher, pada awal tahun 2018 Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dibubarkan. Sehingga BKPRD Jawa Barat juga turut dibubarkan dan kewenangannya diserahkan ke dinas terkait.
"Maka diserahkan tupoksinya ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang. Saat saya ditanya tentang proses Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi, yang ditetapkan atau yang sudah disepekati oleh Bupati (Neneng Hasanah Yasin) dan oleh DPRD saya tidak tahu proses itu sama sekali," terang Aher.
Karena itu, dia mengaku tidak tahu ihwal proses RDTR Meikarta tersebut. Sebab, proses rancangan tersebut Aher tidak menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.
"Sampai saya pensiun belum masuk itu (RDTR). Saya tidak tahu RDTR Bekasi seperti apa. Saya juga tidak tahu ketika itu sudah dikirim ke Provinsi keburu saya pensiun," ujar Aher.
Untuk diketahui, Iwa Karniwa merupakan salah satu tersangka kasus dugaan suap izin proyek pembangunan Meikarta. Penetapan itu merupakan hasil pengembangan perkara mega proyek Meikarta.
Diduga, Iwa telah meminta uang dari terpidana Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Kabupaten Bekasi pada 2017 sebesar Rp900 juta. Uang tersebut disinyalir untuk memuluskan proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi 2017 yang tengah dibahas ditingkat provinsi saat itu.
Atas perbuatannya, KPK menyangkakan Iwa dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.