Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), mengaku tidak mengetahui terkait kasus korupsi pencairan kredit fiktif yang dilakukan Bank BJB Syariah.
Alasannya, saat dirinya menjabat sebagai Gubernur Jabar, hanya bertanggungjawab kepada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk.(BJBR), selaku pemegang saham mayoritas.
Menurut Aher, seharusnya yang bertanggung jawab terkait tindak pidana korupsi di Bank BJB Syariah ialah pejabat utama di bank tersebut.
"BJB itu kan pemegang sahamnya pemerintah. Nah, Bank BJB ini punya anak perusahaan namanya Bank BJB Syariah. Jadi saya selaku pemegang saham Bank BJB waktu itu tidak bertanggung jawab langsung ke Bank BJB Syariah. Itu urusan direksi dan komisaris BJB Syariah," kata Aher, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (13/3).
Ia mengaku baru mengetahui adanya kredit macet tersebut melalui direksi di Bank BJB, selaku induk perusahaan Bank BJB Syariah. Aher mengatakan telah menginstruksikan seluruh jajaran Direksi di Bank BJB untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang terjadi di Bank BJB Syariah.
Selain itu, ia juga mengingatkan untuk selalu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat selaku pemegang otoritas yang mengawasi dan menangani masalah keuangan.
"Saya perintahkan agar hal itu diantisipasi dan jangan lupa untuk menyelesaikannya tanpa ada gonjang-ganjing, karena ini masalah keuangan dan kepercayaan publik," ucap Aher.
Dalam kasus tersebut, Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan tersangka kepada mantan pelaksana tugas Direktur Utama BJB Syariah (BJBS) Yocie Gusman terkait kasus dugaan korupsi pemberian kredit BJBS kepada debitur atas nama PT Hastuka Sarana Karya periode 2014 hingga 2016. Yocie, ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2017.
Yocie Gusman ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam memberikan kredit kepada PT HSK periode 2014 hingga 2016. Ia diduga tidak menaati prosedur saat memberikan kredit ke AW, selaku pimpinan PT HSK dalam memberikan fasilitas pembiayaan sebesar Rp548 miliar. Dana itu akan digunakan PT HSK untuk membangun 161 ruko di Garut Super Blok.
Penyaluran kredit itu diketahui dilakukan tanpa agunan. Debitur PT HSK, mengagunkan tanah dan bangunan ke bank lain. Hal ini pun menyebabkan kredit macet sebesar Rp548 miliar.