close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo./Foto dokumentasi Ahmad Rusdan Handoyo Utomo.
icon caption
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo./Foto dokumentasi Ahmad Rusdan Handoyo Utomo.
Nasional
Minggu, 31 Januari 2021 06:06

Ahmad Rusdan Handoyo: Saya khawatir ada ilusi herd immunity

Pemerintah tengah gencar melakukan program vaksinasi Covid-19. Bagaimana sebenarnya seluk-beluk vaksinasi Covid-19?
swipe

Pemerintah Indonesia memulai program vaksinasi Covid-19 pada 13 Januari 2021. Hal itu ditandai dengan suntikan dosis pertama vaksin CoronaVac produksi Sinovac Biotech Inc, China kepada Presiden Joko Widodo. Rencananya, pemberian vaksin akan dilakukan terhadap sekitar 181,5 juta penduduk Indonesia untuk menciptakan herd immunity alias kekebalan kawanan.

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo tengah fokus menyoroti program vaksinasi Covid-19 ini. Menurut peraih Postdoctoral Fellowship 2003-2007 Harvard Medical School tersebut, ada beberapa hal yang belum diketahui secara utuh oleh masyarakat terkait vaksinasi Covid-19, sehingga potensial menghambat penanganan pandemi.

Dosen Biomedis di Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta ini mengatakan, masyarakat perlu diedukasi soal vaksinasi Covid-19 agar program pemerintah ini berjalan dengan baik dan tak menimbulkan masalah baru.

Peraih PhD Molecular Medicine dari University of Texas Health Science Center at San Antonio, Texas, Amerika Serikat ini menerangkan seluk-beluk vaksinasi Covid-19, termasuk risiko pascasuntikan dan bagaimana peluang menciptakan kekebalan kawanan.

Berikut ini wawancara reporter Alinea.id dengan Ahmad Rusdan Handoyo Utomo yang dilakukan pada Senin (25/1).

Sebenarnya, seperti apa cara kerja vaksin?

Secara umum, vaksin itu tujuannya untuk memasukkan suatu benda yang disebut antigen. Antigen itu untuk membentuk antibodi. Jadi, kalau kita bicara Covid-19, virusnya adalah SARS-CoV-2. Secara garis besar, pendekatannya ada dua.

Pertama, masukan virus utuh, seluruh piranti dalam antigen sama persis dengan aslinya. Hanya saja, virus itu sudah dirusak genomnya atau yang disebut dengan inaktivasi.

Kedua, hanya mengambil bagian tertentu saja dari virus, bisa genetik atau proteinnya. Tidak menggunakan virus utuh. Harapannya, setelah dimasukkan ke tubuh, antigen akan merangsang sel imun untuk membangun antibodi karena virus yang masuk dipersepsikan sebagai barang asing.

Mengapa masih ada orang yang terinfeksi virus, meski sudah divaksin?

Karena virus SARS-CoV-2 ini masuk ke tubuh melalui udara, masuk melewati rongga pernapasan atas sampai bawah alias paru-paru. Vaksin yang ada, baru bisa melindungi rongga pernapasan bawah karena ia disuntikan di bahu. Artinya, rongga pernapasan atas, mulai dari hidung sampai dada masih bisa terinfeksi virus.

Apakah bahaya jika vaksin baru bisa memproteksi bagian napas bawah?

Sebenarnya tidak masalah bila seseorang terinfeksi bagian napas atasnya. Yang bermasalah adalah ketika infeksinya menjalar sampai ke rongga dalam, dan masuk ke paru-paru. Itu berisiko. Sebab yang membuat orang sakit atau meninggal karena virusnya masuk sampai paru-paru. Oleh sebab itu, vaksin disuntik di bahu supaya minimal rongga napas bagian bawah terlindungi.

Apakah seseorang masih bisa menyebarkan virus, meski sudah divaksin?

Betul. Sebab, vaksin belum bisa memproteksi bagian pernapasan atas, sehingga seseorang masih bisa mentransfer virus ke orang lain lewat pernapasan atasnya yang bisa terinfeksi. Namun, yang patut diketahui adalah vaksin itu untuk memproteksi dan mencegah terjadinya gejala sedang dan berat.

Presiden Joko Widodo menerima suntikan dosis kedua vaksin Covid-19 di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/1)./Foto Setkab.go.id/Jay.

Di Israel belasan ribu orang terinfeksi Covid-19 usai divaksin. Apakah ini bisa terjadi di Indonesia?

Kasus adanya belasan ribu warga Israel yang terkena Covid-19 usai divaksin itu sebenarnya bukan berita yang mengkhawatirkan. Yang mengkhawatirkan itu bila ada belasan ribu orang Israel terkena Covid-19 gejala berat usai vaksinasi. Jangan lupa, proteksi vaksin itu untuk mencegah gejala. Kalau tidak bergejala dan hanya positif PCR, itu malah memang seharusnya begitu. Apalagi terjadi di lingkungan yang paparannya masih tinggi.

Kasus Bupati Sleman (Sri Purnomo) contoh yang bagus. Dia positif (Covid-19 setelah divaksin), tapi tidak bergejala. Artinya, betul masih dimungkinkan ditemukan virus di rongga napasnya, tapi dia tidak merasakan sakit karena sudah punya antibodi di rongga dalam.

Target yang diukur dari semua (produk) vaksin yang ada saat ini memang bukan infeksinya, tetapi gejala. Kalau dia positif, tapi dia OTG (orang tanpa gejala), itu membuktikan memang yang desain berhasil.

Sejauh ini, efikasi vaksin tertinggi diklaim milik Pfizer, sebesar 95%. Artinya, masih tersisa 5% orang yang tak bakal menghasilkan imunitas setelah divaksin. Bagaimana dengan Indonesia yang memakai vaksin Sinovac, dengan efikasi 65,3%?

Sebenarnya, makna dari efikasi 95% kebal dan 5% akan tidak kebal itu kurang tepat. Itu sebenarnya merupakan risiko relatif. Sebagai contoh, uji klinis (vaksin) Pfizer yang mengumpulkan 40.000 relawan. Lalu, dibagi dua, yakni kelompok A diberi plasebo, kelompok B diberi vaksin.

Kalau kita mengatakan efikasi 95%, itu bukan berarti 95% dari 20.000 orang akan aman. Lalu, 5% dari 20.000 itu akan kena Covid-19. Bukan begitu. Bukan berarti 5% atau 1.000 dari 20.000 orang yang divaksin akan kena Covid-19. Namun, dari 20.000 orang kelompok penerima vaksin yang terkena Covid-19, kebetulan bergejala ringan ada delapan orang.

Anda tadi menyebut risiko relatif. Apa yang dimaksud risiko relatif?

Risiko relatif adalah kemungkinan orang terkena gejala Covid-19 usai divaksinasi. Nah, untuk melihat itu, ada rumusnya.

Begini. Angka 8:1/162 ketemu 1/20, berarti risiko orang yang divaksin untuk mendapat gejala Covid-19 itu sekitar 1/20. Artinya, setiap orang yang divaksin, kemungkinan dia terinfeksi itu sekitar 20 kali lipat lebih rendah. Nah, itu yang dimaksud dengan efikasi 95%.

Itu untuk contoh kasus vaksin buatan Pfizer. Bagaimana dengan Sinovac?

(Vaksin) Sinovac sekarang kemanjurannya baru 65%. Bila dihitung dengan rumus risiko relatif itu, ditemukan angka 3%. Berarti, kemungkinan seseorang akan mengalami gejala Covid-19 itu tiga kali lipat lebih rendah.

Memahami ini akan sangat mudah bila mengibaratkan main game. Katakanlah (game) PUBG. Pada bagian atas kiri layar (handphone) ada yang namanya total nyawa. Jadi, kalau kita main PUBG, kita tidak divaksinasi, kita cuma punya satu nyawa. Kalau kita celaka, langsung game over. Tapi, kalau kita divaksin, kita punya ekstra tiga nyawa. Sementara kalau pakai (vaksin) Pfizer, kita punya 20 nyawa. Artinya, jumlah nyawa yang kita miliki lebih banyak.

Apakah (vaksin) Pfizer dengan 20 nyawa lebih bagus? Belum tentu juga. Sebab, kalau kita pemain baru, pastinya belum mahir dalam memainkan game. Walaupun kita punya 20 nyawa, itu akan habis dengan cepat kalau kita tidak bisa menjawa nyawa kita. Artinya, kalau kita tetap taat prokes (protokol kesehatan) dan lebih hati-hati, tentu walaupun kita punya tiga nyawa, bisa survive dan itu lebih bagus ketimbang hanya punya satu nyawa. Itu yang dimaksud dengan 20 dan tiga kali lipat lebih rendah.

Karena proteksinya cuma di rongga pernapasan bawah, maka sangat dianjurkan main game-nya hati-hati. Tetap pakai masker, tidak berkerumun. Strategi ini penting dilakukan agar fasilitas kesehatan tidak kolaps.

Apakah seseorang bisa divaksinasi dengan vaksin yang berbeda? Apa risikonya?

Secara medis tidak dianjurkan seseorang divaksin dengan vaksin yang berbeda karena nanti akan menyulitkan evaluasi. Masing-masing vaksin punya profil keamanan yang berbeda.

Misalnya, seseorang tukar vaksin. Awalnya, ia pakai vaksin A, kemudian pakai vaksin B. Lalu ditemukan efek samping. Itu bakal menyulitkan kerja evaluasi jika ingin mendeteksi efek samping vaksin. Nanti, kita jadi tidak tahu ini gara-gara vaksin yang pertama atau kedua. Padahal, sebisa mungkin jangan sampai ada komplikasi akibat efek samping vaksin. Satu vaksin saja sudah cukup rumit, apalagi kalau dicampur.

Apakah setelah divaksin masyarakat harus tetap patuh protokol kesehatan?

Tetap harus ketat protokol kesehatan. Sebab, vaksinasi ini tidak bisa serentak, tetap harus menunggu giliran, harus disesuaikan dengan stok yang ada. Karena tidak serentak, perlu dipahami ada orang yang belum divaksinasi.

Masyarakat yang sudah divaksin memang kebal secara individu. Tapi ingat, kalau dia tidak menggunakan masker saat berbicara dengan orang yang belum divaksin, dia bisa mentransfer virus ke orang itu. Baiknya, kita menganut prinsip kehati-hatian. Maka, semua orang yang sudah divaksin maupun belum, tetap harus menggunakan masker hingga kita melihat data bahwa penyakit ini sudah hilang.

Vaksin Covid-19 hasil kerja sama Bio Farma dan Sinovac yang tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Minggu (6/12/2020), langsung dibawa menuju kantor pusat Bio Farma di Bandung, Jawa Barat. Kendaraan pembawa vaksin tiba di Bio Farma sekitar pukul 03.45 WIB, Senin (7/12/2020)./Foto Facebook Bio Farma.

Anda punya prediksi, kapan proses vaksinasi usai dan kekebalan kawanan tercipta?

Sangat tergantung dari strategi kita dalam melakukan vaksinasi, lalu testing, tracing, dan treatment (3T). Keduanya harus jalan beriringan. Vaksin itu ibarat ember yang menadah air bocor, sedangkan kasus baru ibarat air yang bocor. Bila lubang yang bocor tak segera ditambal, maka ember itu lama-lama tidak akan bisa menampung air yang bocor.

Artinya, bakal percuma kalau vaksinasi dilakukan, tapi 3T yang fungsinya untuk memutus kasus baru, tidak dilakukan secara masif. Dengan kata lain, bila air bocor itu tidak terbendung, akan menyulitkan prediksinya kapan. Percuma vaksin kalau kasus baru terus bermunculan, akibat rantai persebaran tidak diputus.

Lantas, bagaimana agar vaksinasi dan 3T bisa berjalan beriringan?

Itu tergantung dari bagaimana setiap daerah mengalokasikan sumber daya. Tidak bisa semua sumber daya dikerahkan untuk vaksinasi atau seluruhnya melakukan 3T. Harus ada perencanaan matang. Per daerah harus punya target.

Semisal, dalam dua bulan ke depan kita harus vaksinasi berapa orang. Nanti terlihat jumlah penurunan kasus bergejala. Di saat yang sama, mereka juga harus melakukan kontak telusur. Berdasarkan standar WHO (World Health Organization) tiap satu tes positif, harus dilakukan 30 tes kontak telusur. DKI Jakarta saja saat ini baru empat.

Jadi, tidak cuma asal vaksinasi tinggi. Kita harus melihat satu daerah yang satu area, seperti Jabodetabek itu harus jadi satu lingkup manajemen. Nanti harus dilihat cakupan vaksinasi di daerah itu, untuk populasi berisiko itu harus berapa persen, dalam waktu berapa lama, dan cakupan testing serta tracing-nya.

Jangan disamakan dengan daerah yang jarang penduduknya. Karena kalau ada daerah yang penduduknya lebih renggang atau lebih taat protokol kesehatan, mungkin targetnya tidak harus seagresif tempat yang lain.

Artinya, kekebalan kawanan baru bisa diprediksi bila vaksinasi dan 3T dilakukan secara proporsional di setiap daerah?

Jadi, harus dilihat kasus per kasus di setiap daerah. Sehingga nanti kalau ada apa-apa itu troubleshooting-nya lebih mudah. Intinya, tidak bisa hanya menekankan pada vaksinasi yang tinggi.

Saya khawatirnya, ada semacam ilusi kalau herd immunity (kekebalan kawanan) itu jadi yang utama. Kalau kita bicara herd immunity, asumsinya vaksin mampu mencegah penularan. Kalau ketersediaan vaksin melimpah, baru kita bisa ngomong soal herd immunity. Tapi, bila kondisinya vaksin tak bisa menjamin mencegah penularan dan ketersediaannya juga terbatas, rasanya tidak realistis untuk mengharapkan herd immunity.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan