Nasib Ahmadiyah di Garut: “Stigma kafir membuat kami dicurigai…”
Sebuah bangunan yang belum selesai, terbengkalai di tengah permukiman warga di Kampung Nyalindung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Garis tanda dilarang melintas Satpol PP Kabupaten Garut melintang di salah satu bagian bangunan tersebut.
Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 100 meter persegi itu merupakan calon masjid jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung. Namun, belum juga rampung, pada Kamis (6/5) Bupati Garut Rudy Gunawan memerintahkan untuk menyegel dan menghentikan proses pembangunannya.
Rudy pun melarang seluruh kegiatan keagamaan jemaat Ahmadiyah melalui Surat Edaran Bupati Garut Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol, dengan dalih menjalankan perintah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.
SKB Tiga Menteri berjudul Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB ini ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 2008.
SKB tersebut mengandung enam butir keputusan. Walau tak ada perintah pembubaran Ahmadiyah, namun pemerintah melarang kegiatan Ahmadiyah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Calon masjid Ahmadiyah itu sudah mulai digarap sejak 2014. Namun, tak kunjung rampung karena terus menerus diprotes ormas Islam di daerah tersebut. Sudah berulang kali ormas anti-Ahmadiyah datang ke Nyalindung hanya untuk menghentikan proses pembangunan masjid.
“Kurang lebih delapan kali kami didatangi FPI (Front Pembela Islam) dan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang anti-Ahmadiyah,” kata salah seorang pimpinan jemaat Ahmadiyah di Nyalindung, Asep Nanu Haryono saat dihubungi Alinea.id, Kamis (13/5).
“Sampai saat ini kami belum bisa beribadah dengan aman dan nyaman karena terus mendapat tekanan.”
Masjid dirusak, ibadah tak aman
Di Nyalindung, hidup 43 kepala keluarga atau 130 jiwa anggota jemaat Ahmadiyah. Menurut Nanu, banyak warga Nyalindung yang dihasut kelompok anti-Ahmadiyah. Intimidasi pertama kali terjadi pada 2013. Bahkan, katanya, FPI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sering menggelar tablig akbar yang disertai narasi intimidasi untuk meneror komunitas Ahmadiyah.
“Mereka sebut halal darah orang Ahmadiyah,” ujarnya.
“Itu terjadi tiap tahun sampai membuat ibu-ibu dan anak-anak kami ketakutan.”
Situasi makin runyam karena penegak hukum malah tutup mata melihat intimidasi yang terjadi. Nanu mengatakan, Polsek Cilawu malah memberi keleluasaan kepada warga untuk mengintimidasi. Hingga kini, jemaat Ahmadiyah di Nyalindung masih belum berani mengenakan atribut dalam aktivitas harian mereka lantaran khawatir memantik konflik.
Nanu menuturkan, persekusi dan intimidasi jemaat Ahmadiyah berdampak pula pada generasi muda anggota mereka. Menurut Nanu, generasi muda jemaat Ahmadiyah menjadi takut dirundung warga sekitar kalau mengikuti kegiatan keagamaan.
"Sehingga kegiatan keagamaan agak terganggu" ucap Nanu.
Ia cemas keturunan warga Ahmadiyah di Nyalindung bakal terus mendapat serangan dari kelompok anti-Ahmadiyah. Sejauh ini, tak ada jaminan perlindungan dari pemerintah. Diskriminasi pun membuat warga Ahmadiyah luput dari bantuan sosial pemerintah selama pandemi Covid-19.
Perkara penyegelan masjid Ahmadiyah di Nyalindung, ikut membuka tabir intimidasi kelompok Ahmadiyah di tempat lain di wilayah Garut. Ketua jemaat Ahmadiyah Cigedug, Kabupaten Garut, Asep Lukmansyah pun mengakui ada penolakan di wilayahnya.
“Pada 2004 sampai mau ada pembakaran dan penyiksaan. Situasi saat itu gawat sekali,” ujar Asep saat dihubungi, Kamis (13/5).
Ketika itu, MUI Garut mengumpulkan warga Ahmadiyah dan meminta menghentikan seluruh kegiatan mereka. Di Cigedug, ada 300 warga Ahmadiyah.
Bagi Asep, Garut kurang ramah terhadap Ahmadiyah. Jemaatnya acap kali mendapat stigma kafir dari kalangan mayoritas Islam di sana. Stigma kafir tersebut membuat jemaat Ahmadiyah di Cigedug kesulitan membangun relasi dengan warga lain.
“Sebelum kami ajak bicara, mereka langsung melontarkan kata kafir kepada kami,” kata Asep.
Mereka kerap sembunyi-sembunyi untuk melakukan kegiatan keagamaan. Sebab, khawatir warga tak terima dan terjadi pertikaian.
“Stigma kafir membuat kami dicurigai,” ujarnya.
Warga Ahmadiyah harus menempuh perjalanan puluhan kilometer bila ingin melaksanakan salat Jumat lantaran tak diperkenankan salat di masjid Desa Cigedug. Mereka harus berjuang jalan kaki terlebih dahulu sekitar 20 kilometer, menyusur hutan dan melewati Gunung Cikuray.
Lalu naik ojek ke arah Pamalayan dan Bayongbong untuk sampai ke masjid Ahmadiyah di Muara Sanding, Garut Kota. Jarak yang jauh itu membuat mereka harus berangkat pukul 06.00 WIB agar tak terlambat.
Jauhnya jarak yang ditempuh bukan satu-satunya rintangan. Mereka pun harus menyamar agar tak dicurigai warga ingin melakukan salat Jumat.
"Banyak yang saat berangkat tidak membawa alat salat, tapi bawa alat pertanian supaya tidak dicurigai warga," kata Asep.
“Entah sampai kapan kami menempuh jarak berkilo-kilo ini untuk bisa salat Jumat. Tapi, bagaimana pun, menurut saya, ini jalan terbaik ketimbang harus terus bertikai dengan sesama.”
Ketua Jemaat Ahmadiyah Garut, Mansoor Ali menyebut, setidaknya sudah tujuh masjid dari 15 cabang Ahmadiyah di Garut yang pernah ditutup dan dihancurkan. Pada 1998, masjid Ahmadiyah di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut pernah dirusak sekelompok orang yang dimobilisasi MUI Garut.
Perusakan kembali terulang pada 2006, pascapenyerangan maskar Ahmadiyah di Parung, Bogor. “Sampai sekarang belum bisa dibangun lagi,” kata Mansoor saat dihubungi, Sabtu (15/5).
Pada 1992, masjid Ahmadiyah di Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut pun dihancurkan sekelompok orang. “Baru pada 2002 dibangun lagi oleh anggota di sana,” katanya.
Perkara SKB Tiga Menteri
Menurut Mansoor, paling mengerikan adalah perusakan masjid Ahmadiyah di Desa Pangauban, Kecamatan Cisarupan, Garut pada 1985. Saat itu, kata Mansoor, jemaat Ahmadiyah harus mengungsi hingga ke Sumatera dan Sulawesi untuk melindungi diri karena diteror kelompok anti-Ahmadiyah.
"Saya masih ingat betul, anggota kami itu malam-malam berlarian karena masjid mereka dihancurkan," kata Mansoor.
Mansoor membenarkan bila masih banyak jemaat Ahmadiyah yang diawasi dan dicurigai, baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintah di Garut. Daerah Cigedug dan Panguban, sebut Mansoor, merupakan cabang Ahmadiyah yang hingga kini rawan intimidasi dan persekusi.
Segala bentuk intimidasi, persekusi, dan diskriminasi, menurut Mansoor membuktikan Garut belum toleran dengan minoritas. Ia menduga, berbagai kemelut yang menimpa jemaat Ahmadiyah karena banyak kelompok radikal yang ada di Garut.
“Fatwa MUI dan SKB Tiga Menteri sering dijadikan rujukan menyerang kami. Pesantren radikal itu lebih menekankan perihal yang sifatnya fisik,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Pusat Litbang Kementerian Agama (Kemenag) Muhammad Adlin Sila berdalih, pihaknya tak terkait dengan SKB Tiga Menteri yang dijadikan dasar Bupati Garut Rudy Gunawan menyegel bakal masjid Ahmadiyah di Nyalindung. Ia berkilah, keputusan eksekusi merupakan kewenangan kepala daerah.
"Eksekutornya itu kepala daerah," kata Adlin ketika dihubungi, Kamis (13/5).
Adlin juga menuturkan, tak ada niat dari Kemenag untuk mengevaluasi SKB Tiga Menteri terkait Ahmadiyah, meski banyak pihak yang mendesak aturan itu segera dicabut. Alasannya, mekanisme evaluasi SKB Tiga Menteri ada di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Contoh, peraturan bersama menteri tentang pendirian rumah ibadah itu MK yang meminta untuk direvisi," kata Adlin.
Terkait SKB Tiga Menteri soal Ahmadiyah, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengatakan, akan mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi. Menurutnya, SKB Tiga Menteri itu sudah menyandera hak asasi jemaat Ahmadiyah.
Sementara atas tindakan penyegelan masjid Ahmadiyah di Nyalindung yang terjadi beberapa waktu lalu, Beka menyebut, Bupati Garut Rudy Gunawan sudah melanggar konstitusi.
“Konstitusi mengamanatkan untuk melindungi seluruh rakyat,” ujar Beka saat dihubungi, Rabu (12/5).
Di samping itu, Beka mengatakan, sikap Rudy pun mencederai toleransi. Dalam waktu dekat, kata Beka, Komnas HAM bakal meminta keterangan Rudy mengenai sikap Pemerintah Kabupaten Garut yang menyegel pembangunan masjid Ahmadiyah di Nyalindung.
“Sebab, sikap tersebut bisa jadi ekses negatif kebebasan beragama di Garut dan daerah lain,” ucap Beka.
"Kami secepatnya bakal menindaklanjuti perkara ini.”