Wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk yang ke lima, tengah menjadi sorotan saat ini. Amendemen yang membawa narasi untuk menghadirkan PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara) agar pembangunan negara lebih terarah, dinilai oleh akademisi sebagai bentuk lain dari GHBN (Garis Besar Haluan Negara).
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, yang sekaligus pendiri PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) menyampaikan, PPHN yang dicanangkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) tidak relevan dengan sistem kenegaraan pada masa sekarang.
Ini dikatakan Bivitri karena presiden saat ini mendapatkan mandat langsung dari rakyat, bukan MPR. Jadi, Bivitri menjelaskan, pertanggungjawaban presiden tidak lagi berdasar mandat GBHN, yang berasal dari MPR.
“Karena presidennya sudah dipilih langsung kok. Jadi tidak perlu dokumen mandat, karena GBHN itu kan dokumen mandat dari MPR, makanya kalau dianggap melanggar seperti halnya dulu Presiden Gus Dur dianggap melanggar, kemudian digantikan Megawati, itu kemudian sekarang sudah tidak relevan, karena sekarang yang memilih rakyat,” kata Bivitri dalam diskusi virtual, Sabtu (11/9),
Tidak hanya mengenai relevansi dengan sistem kenegaraan, Bivitri juga menyangkal pandangan yang menyebut jika PPHN merupakan kunci penentu dari keberhasilan pembangunan Indonesia. Ia mencontohkan apabila kesuksesan pemerintahan era Sukarno dan Soeharto bukan berpatokan dari GBHN, tetapi lebih pada kepemimpinan yang dijalankan oleh mereka sendiri.
Jadi, menurutnya, narasi yang mengatakan keberhasilan pembangunan suatu negara ada pada eksistensi GBHN (atau yang sekarang diwacanakan adalah PPHN) merupakan pandangan yang keliru.
“Kita punya ilusi bahwa seakan-akan kalau PPHN ada, masalah-masalah pembangunan katanya yang terputus-putus dan sebagainya akan selesai. Itu pandangan yang menurut saya jadi delusional," ujar Bivitri.
Bivitri menambahkan, sebenarnya untuk urusan arah pembangunan, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional). Pembangunan merupakan urusan yang bersifat teknis, jadi pengaturannya cukup berada pada level UU.
Kemudian secara lebih spesifik, Bivitri menilai, ameandemen tidak perlu dilakukan mengingat banyak pelaksanaan UUD 1945 yang belum optimal. Ia menyayangkan kalau masih banyak terjadi pelaksanaan demokrasi yang buruk, tapi justru kini sudah sibuk untuk mewacanakan amandemen.
“Fakta bahwa pembuat mural masih mau diburu, pembuat meme dari anak-anak mahasiswa di setop, kemudian indeks demokrasi kita menurun, kesejahteraan kita juga lagi turun, kok ya kita mau ngomongin amendemen, mengapa tidak diselesaikan dulu masalah-masalah warga,” kata Bivitri.