Kepolisian Republik Indonesia (Polri) angkat bicara terkait penangkapan AKBP Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bambang ditangkap karena telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, dalam hal ini dugaan suap dan gratifikasi pemalsuan surat perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM) yang ditangani Mabes Polri.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, penangkapan ini tidak melunturkan dukungan Polri bagi KPK untuk menuntaskan korupsi. Pihaknya mendukung penuh langkah KPK menangani kasus yang menjerat mantan Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri itu.
“Enggak masalah. Polri mendukung proses penyidikan yang dilakukan KPK,” kata Dedi kepada wartawan, Selasa (3/1).
Dedi menyebut, proses hukum diserahkan sepenuhnya kepada lembaga antirasuah itu. Pihaknya berharap kepada KPK agar penanganan kasus AKBP Bambang Kayun diproses secara profesional.
“Lanjut, sesuai dengan prosedur,” ujar Dedi.
Sebelumnya, KPK telah menangkap dan menahan Bambang, usai diumumkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM) yang ditangani Mabes Polri.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, kasus ini bermula dari laporan adanya pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM dengan pihak terlapor pasangan suami istri, Emilya Said dan Herwansyah. Atas pelaporan tersebut, Emilya dan Herwansyah dikenalkan kepada Bambang Kayun.
"Untuk kepentingan dan kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan BK (Bambang Kayun) untuk 20 hari pertama, terhitung dari 3 Januari 2023 sampai 22 Januari 2023 di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur," katanya, Selasa (3/1).
Firli melanjutkan, pada Mei 2016 ketiganya melakukan pertemuan di salah satu hotel di Jakarta. Bambang Kayun pun menyatakan siap membantu Emilya dan Herwansyah dengan syarat bersedia memberikan uang dan barang.
Bambang juga memberi saran di antaranya agar keduanya mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan pada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri. Menindaklanjuti permohonan dimaksud, Bambang lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk melakukan verifikasi, termasuk meminta klarifikasi pada Bareskrim Polri.
Kemudian, sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama Emilya dan Herwansyah di lingkup Divisi Hukum Mabes Polri. Bambang kemudian ditugaskan menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan.
Dalam perjalanan kasusnya, Enilya dan Herwansyah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareksrim Polri. Terkait penetapan status tersangka ini, Bambang menyarankan Emilya dan Herwansyah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan saran tersebut, Bambang menerima uang sekitar Rp5 miliar dari keduanya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya. Selama proses praperadilan, diduga Bambang membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan, sehingga hakim dalam putusannya mengabulkan gugatan dan status penetapan tersangka terhadap Emilya dan Herwansyah menjadi tidak sah.
Kemudian Bambang pada Desember 2016 juga diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh Bambang. Namun pada April 2021, Emilya dan Herwansyah kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareksrim Mabes Polri dalam perkara yang sama.
Diduga Bambang kembali menerima uang hingga berjumlah Rp1 miliar untuk membantu pengurusan perkara dimaksud sehingga keduanya tidak kooperatif dan melarikan diri serta masuk dalam DPO Bareskrim Polri.
"Selain itu, tersangka BK (Bambang) menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp50 miliar," ujar Firli.
Atas perbuatannya, Bambang disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.