Akhir kisah Lutfi dan setrum-menyetrum di ruang interogasi
Berboncengan menggunakan sepeda motor, Lutfi Alfiandi dan salah satu rekannya melaju ke arah Jakarta Utara. Meninggalkan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, yang masih dibekap kericuhan, mereka berdua sepakat memilih jalur Gatot Subroto-Grogol.
Di motor, Lutfi yang berada di kursi penumpang sibuk memainkan ponsel. Ketika motor itu terjebak kemacetan di kawasan Slipi pun, Lutfi tak melepaskan pandangannya dari layar ponsel. Hingga akhirnya, seorang polisi berpakaian preman memiting lehernya, menariknya dari motor, dan menggiringnya ke Polres Jakarta Barat.
"Enggak dikasih kesempatan buat saya ngasih penjelasan. Saya ini ngapain gitu. Jadi, langsung ditangkap. Langsung dibawa ke atas," kata Lutfi saat mengisahkan kembali proses penangkapan ia dan rekannya di acara Mata Najwa, Januari lalu.
Lutfi merupakan satu dari puluhan pemuda dan mahasiswa yang ditangkap polisi dalam berbagai aksi unjuk rasa menolak rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada periode 23 September-1 Oktober di Jakarta.
Pemuda berusia 20 tahun itu ikut turun ke jalan dalam unjuk rasa gabungan antara pelajar dan mahasiswa pada Rabu, 25 September 2019. Meskipun sudah tak berstatus pelajar, Lutfi ikut aksi dengan mengenakan seragam putih abu-abu.
Pergerakan Lutfi di aksi itu sempat tertangkap kamera. Saat diabadikan fotografer Kompas, Lutfi--yang mengenakan sweater dan membawa bendera merah-putih--terlihat tengah menyeka wajah usai terkena gas air mata.
Foto itu viral. Lutfi pun dikenal di jagat maya dengan sebutan si Pembawa Bendera.
Usai ditangkap, Lutfi mengatakan, ia kemudian bermalam di tahanan sementara Polres Jakarta Barat. Keesokan harinya, Lutfi diinterogasi petugas Polres. Di ruang interogasi itu, Lutfi mengaku disiksa supaya mengaku sebagai perusuh dalam aksi unjuk rasa.
"Awalnya di badan, terus badan saya kan disuruh menghadap ke tembok, terus saya dipukul. Awal dipukul di muka, dipukul di ulu hati pakai tangan. Sempat apa...Sakit gitu," tuturnya.
Setelah dipukul, ia mengatakan, salah seorang penyidik mengambil kantong plastik di atas sebuah meja. Polisi itu kemudian menutupi muka Lutfi dengan kantong tersebut. "Diikat ke kepala. Tidak lama, terus dibuka lagi," ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Lutfi, ia juga sempat dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan mata ditutup kain. Kedua kupingnya dijepit. Lutfi kemudian diinstruksikan untuk berjongkok. "Lempar berapa kali? Saya enggak ngelempar, Pak. Langsung setruman itu mulai berjalan," tutur Lutfi.
Sempat bertahan dengan testimoninya, Lutfi akhirnya goyah. Supaya tak terus disiksa, ia akhirnya mengaku melempar batu ke arah kerumunan polisi yang mengawal aksi unjuk rasa. "Karena dalam paksaan, dalam tekanan pada saat itu," kata dia.
Ini bukan kali pertama polisi diduga melakukan kekerasan di ruang interogasi demi mendapat pengakuan. Pada 2013, enam pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan, menjadi korban salah tangkap Unit Jatanras Polda Metro Jaya.
Keenam pengamen itu, yakni Andro Supriyanto, Nurdin Prianto, Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga atau Ucok, dan Pau. Mereka dituduh sebagai pelaku pembunuhan remaja berusia 15 tahun bernama Dicky Maulana. Dicky ditemukan tewas di kolong jembatan Cipulir.
Awalnya, Dicky ditemukan Andro dan lima rekannya sekarat karena luka tusuk di leher pada Minggu pagi, 30 Juni 2013. Mereka kemudian melaporkan peristiwa itu kepada petugas keamanan setempat.
Laporan itu kemudian diteruskan ke Polsek Pesanggrahan. Petugas polsek yang tiba di lokasi kemudian membawa Andro dan rekan-rekannya untuk dimintai keterangan. Sempat ditetapkan sebagai saksi, keenamnya kemudian dijadikan tersangka oleh polisi.
Menurut pengacara LBH Jakarta Oky Wiratama, polisi mendapatkan pengakuan dari mulut mereka lewat penyiksaan. Selain dipukul, Andro dan rekan-rekannya juga disetrum agar mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.
Kasus mereka diputus oleh PN Jakarta Selatan pada 2013. Majelis hakim menyatakan keenamnya terbukti bersalah. Tak terima putusan, LBH Jakarta mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, putusan PT DKI justru menguatkan putusan pada tingkat pertama.
Baru pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, LBH Jakarta menang. Putusan MA menyatakan keenamnya bukan pelaku pembunuhan Dicky dan terjadi kesalahan prosedur dalam penanganan perkara. Mereka pun dibebaskan dari jerat hukum.
Kekerasan di ruang interogasi masih marak
Kasus Lutfi dan enam pengamen Cipulir merupakan penanda bahwa kekerasan di ruang interogasi masih marak. Tak hanya di Jakarta, kekerasan oleh polisi saat proses penyelidikan dan penyidikan juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya, sedikitnya telah terjadi 643 peristiwa kekerasan oleh kepolisian pada periode Juni 2018-Mei 2019.
Praktik-praktik kekerasan dilaporkan terjadi di tingkat polsek hingga polda. Tindakan kekerasan beragam, semisal penembakan, penyiksaan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka dan tewas.
Data KontraS menyebutkan, tindakan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi cenderung terjadi saat penahanan, yakni sejumlah 32 peristiwa. Pada periode yang sama, KontraS juga menemukan setidaknya ada 51 peristiwa salah tangkap.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga memotret hal serupa. Dalam Laporan Hukum & HAM 2019 dan Proyeksi 2020, YLBHI merilis setidaknya ada 169 kasus pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang 2019.
Data pelanggaran fair trial paling banyak didapat dari LBH Jakarta, yakni sebanyak 46 kasus, diikuti LBH Padang (22 kasus), LBH Palembang (15 kasus), LBH Papua (13 kasus), LBH Makassar (12 kasus), dan LBH Surabaya (10 kasus).
Dari pendataan yang dilakukan YLBHI diketahui, polisi merupakan aktor pelaku paling banyak dalam pelanggaran prinsip fair trial, yakni sebanyak 58%. Pelanggaran terhadap prinsip itu terutama terjadi dalam proses penangkapan dan penahanan.
Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan, kasus-kasus kekerasan terhadap warga sipil di ruang interogasi terus terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan sebagai cara yang efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka.
"Penyiksaan juga dijadikan alat penghukuman terhadap tersangka, misalnya dalam kasus terorisme, pemerkosaan, dan sebagainya," kata Putri saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (7/1).
Menurut Putri, kekerasan di ruang interogasi umumnya terjadi dalam kasus-kasus kriminalitas yang minim bukti dan saksi. Di sisi lain, Polri juga jarang memberikan sanksi terhadap personel yang nakal. "Sehingga tidak ada efek jera dan mengakibatkan penyiksaan masih terus terjadi," kata dia.
Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono meminta agar YLBHI dan KontraS tak asal menuding. "Perlu dibuktikan pernyataannya," kata Argo kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (6/1).
Begitu pula dalam kasus Lutfi. Menurut Argo, keterangan Lutfi sejauh ini hanya merupakan pengakuan sepihak. Pasalnya, tim investigasi gabungan yang dibentuk Polri tidak menemukan adanya kekerasan dalam proses hukum terhadap Lutfi. "Kasus Lutfi sementara belum terbukti," imbuh dia.
Terpisah, anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Arteria Dahlan menilai kekerasan yang dilakukan Polri terhadap warga sipil masih dalam tahap wajar. Menurut dia, salah satu penyebabnya ialah jumlah personel Polri yang terbatas.
"Iya, karena polisi kita kan ngurus 260 juta (orang) Indonesia, ya, dan polisinya itu cuma 440 ribu. Bagaimana dilihat formulasi-formulasi kepentingan yang bermain. Itu kan kan saya pikir relatif sudah baik dan sudah banyak perubahan," kata Arteria kepada Alinea.id.
Lebih jauh, Arteria mengatakan, kekerasan yang dilakukan segelintir oknum polisi tidak serta merta membuat kinerja Polri langsung dicap buruk. "Seandainya ada kekhilafan-kekhilafan, kesalahan-kesalahan, ya, saya pikir itu masih dalam batasan yang masih bisa ditoleransi," katanya.
Korban tak boleh diam
Kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi juga diakui Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho. Menurut dia, hal itu terjadi karena polisi masih menggantungkan proses penyidikan pada keterangan tersangka.
Berdasarkan kajian Ombudsman Jakarta, ada dua faktor utama yang menyebabkan kekerasan masih terjadi. Pertama, lemahnya pengawasan internal di kepolisian. Kedua, tersangka tidak mendapat pendampingan dari pengacara.
"Atau pengacara tidak mendapat akses yang cukup, khususnya untuk kasus-kasus yang dianggap membahayakan negara di mana pengacara memang dibatasi haknya. Ada dua pola itu," jelas Teguh.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Amiruddin mengatakan, pernyataan korban disiksa saat penyidikan kerap menjadi rumor semata. Pasalnya, korban kerap tidak berani menindaklanjuti pernyataannya di persidangan.
Ia mencontohkan kasus Lutfi. Di persidangan, Lutfi lantang mengungkap klaim penyiksaan oleh polisi. Namun, setelah PN Jakarta Pusat memvonis 4 bulan penjara dan ia kini bebas, Lutfi tak mau lagi mempersoalkan penyiksaan yang ia terima.
"Sekarang, apa yang disampaikan lutfi dibantah polisi. Akibatnya apa? Semuanya menjadi diragukan. Kedua, tidak menjadi kuat keterangan itu (Lutfi). Akibatnya, masyararat memiliki asumsi masing-masing terkait apa yang disampaikan Lutfi," kata Amiruddin.
Tak hanya Lutfi, menurut Amiruddin, banyak laporan dugaan penyiksaan di ruang interogasi yang masuk ke KomnasHAM. Namun, para pelapor kerap tidak mau memberikan keterangan resmi dan membuktikan peristiwa penyiksaan yang mereka alami.
"Kalau enggak mau bersaksi bagaimana cara kita membuktikan informasi itu. Yang terjadi apa? Rumor aja. Padahal, saya sangat concern butuh hal itu. Kenapa? Karena tindakan kekerasan dalam penyelidikan harus dicegah. Enggak boleh terjadi," katanya.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengakui hingga kini kekerasan dalam penyelidikan dan penyidikan masih kerap terjadi. Padahal, aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 sudah tegas melarang kekerasan di ruang interogasi.
Ia mencontohkan kasus video penyidik Polres Jayawijaya yang mengalungkan ular kepada calon tersangka agar mengaku. "Itu terbukti ada kekerasan. Tetapi memang harus bisa dibuktikan," kata dia kepada Alinea.id.
Poengky menyarankan agar semua ruang interogasi di kepolisian berbagai tingkatan dilengkapi CCTV dan alat perekam suara. Dengan begitu, penyidik tidak bisa seenaknya menyiksa tersangka atau calon tersangka.
Di sisi lain, ia juga meminta Polri tegas memberlakukan sanksi bagi mereka yang kedapatan melakukan kekerasan. "Jika terbukti bersalah melakukan penyiksaan, maka akan ada sanksi disiplin, etik dan pidana," jelasnya.