Aktivis antikorupsi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Umar Sholahudin, menyayangkan adanya gugatan atas kewenangan kejaksaan mengusut kasus tindak pidana korupsi (tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi itu disinyalir mengancam kerja-kerja pemberantasan rasuah sekalipun dasar gugatannya lemah.
"Saya menyayangkan gugatan ini. Apa dasar hukumnya atau konstitusinya dia mengajukan itu terhadap kewenangan kejaksaan? Karena selama ini secara hukum, dia (kejaksaan) memiliki kewenangan [mengusut korupsi] dan dilindungi UU, lalu kenapa dipertanyakan?" ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/5).
Umar menerangkan, Indonesia hingga kini masih darurat korupsi. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah penguatan lembaga penegak hukum.
"Sampai sekarang, korupsi masih menjadi persoalan krusial. Negeri ini tidak bisa maju di berbagai bidang karena apa? Ya, karena korupsi," tuturnya.
"Makanya, semua lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, KPK, harus diperkuat. Dia punya peran dalam penyidikan kasus-kasus korupsi," imbuh Umar.
Dia mengakui bahwa kejaksaan masih memiliki kelemahan dalam menjalankan tugasnya, baik secara kelembagaan maupun personal. Namun, solusinya bukan mencabut kewenangannya dalam mengusut kasus korupsi.
"Yang menjadi PR kejaksaan adalah bagaimana meningkatkan profesionalitas dan integritas, terutama dalam korupsi," jelasnya.
Secara umum, Umar juga mendorong lembaga-lembaga penegak hukum meningkatkan koordinasi sehingga upaya pemberantasan korupsi maksimal.
"Tapi yang jelas, di tengah persoalan korupsi yang masih darurat di Indonesia, lembaga-lembaga penegak hukum harus diperkuat agar korupsi ini bisa diberantas dan dihilangkan," katanya.
Diketahui, advokat Yasin Djamaludin menggugat Undang-Undang (UU) Kejaksaan ke MK. Ia meminta kewenangan "Korps Adhyaksa" menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus.
"Menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonannya, menukil situs web MK.
Demikian pula dengan kewenangan jaksa dalam Pasal 39, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) sepanjang frasa "atau kejaksaan" di UU Tipikor.
"Menyatakan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa 'atau kejaksaan'; Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa 'atau kejaksaan'; dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa 'dan/atau kejaksaan' Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tuturnya.