close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Polisi tangkap pembuat dan penyebar hoaks kelompok MCA/ Antara Foto
icon caption
Polisi tangkap pembuat dan penyebar hoaks kelompok MCA/ Antara Foto
Nasional
Selasa, 27 Februari 2018 15:30

Aktivitas hoaks bagai jaring laba-laba

Jaringan laba-laba memiliki bagian inti atau pusat jaringan seluruh aktivitas media sosial. Pusat inti jaringan dihubungkan dengan aktor.
swipe

Pembuat dan penyebar berita bohong atau hoaks di media sosial bagai jamur di musim hujan. Kelompok tersebut makin merajalela menjelang pemilihan umum yang berlangsung tahun depan. Setelah kelompok Saracen tahun lalu diringkus Tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, kelompok lain yang pekan ini ditangkap adalah Muslim Cyber Army (MCA). 

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap empat orang pelaku ujaran kebencian yang tergabung dalam kelompok MCA di empat kota berbeda. Mereka membentuk aplikasi pesan grup WhatsApp yang disebut The Family MCA kemudian kerap melempar isu bernada provokasi di media sosial. 

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran di Jakarta menjelaskan, isu yang digiring kelompok MCA mulai dari kebangkitan PKI, penculikan ulama, fitnah terhadap presiden, pemerintah dan tokoh-tokoh tertentu. Termasuk menyebarkan virus yang sengaja dikirimkan kepada orang atau kelompok lawan yang berakibat dapat merusak perangkat elektronik bagi penerima. 

Inisial keempat tersangka yakni ML yang ditangkap di Sunter, Jakarta Utara. Lalu, RSD ditangkap di Bangka Belitung, RS yang ditangkap di Jembrana, Bali. Terakhir, Yus ditangkap di Sumedang, Jawa Barat.

Setelah MCA ditangkap akankah hoaks akan berkurang? Berkaca pada kelompok terdahulu yakni Saracen, hoaks justru makin tumbuh subur. Makin diperparah karena mudahnya masyarakat percaya dan mudah dipengaruhi tentang informasi yang telah menyebar. Sekalipun pembuat dan penyebar hoaks bisa dijerat hukum. 

Saat mendapat informasi lewat media masyarakat banyak yang mengambil perhatian, namun tidak mengetahui kebenaran sesungguhnya dalam sebuah fenomena. Dalam hal ini, media masa amat berpengaruh. 

Hoaks sebenarnya bukan muncul baru-baru ini saja. Dalam sejarahnya, hoaks muncul pertama kali pada tahun 1661 yang melibatkan seorang musisi. Kala itu, seorang pemilik tanah John Mompesson asal Inggris mengajukan tuntutan kepada seorang drummer veteran William Drury yang dituduh mengumpulkan uang dengan cara-cara curang dari drumnya. 

Mompesson kemudian memenangkan tuntatan tersebut dan mendapatkan drum milik Drury. Sejak menyimpan drum tersebut, Mompesson mengaku kerap diganggu oleh hal berbau mistis dan sihir. Kisah tersebut dikenal abadi karena mengandung hal horor yang memang disukai oleh masyarakat. Cerita tentang drum hantu tersebut selalu diceritakan generasi ke generasi, meski tidak tau kebenarannya. 

Masuk abad 20 dengan dunia yang makin maju ditandai berbagai macam teknologi, hoaks yang beredar nyatanya tidak benar-benar hilang. Justru makin berseliweran di ranah media sosial. Misalnya saja tentang kedatangan serangan alien ke bumi, vampire dan kisah-kisah lainnya. 

Hal ini terjadi karena kesalahpahaman informasi muncul akibat gangguan komunikasi, baik antara individu maupun kelompok. Gangguan tersebut menjadi penghambat jalannya komunikasi. Sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kesalahpahaman. Gangguan tersebut juga terjadi karena munculnya prasangka yang menjadi rintangan berat dalam berkomunikasi. 

Sang aktor 

Tingginya aktivitas di media sosial kerap memicu ketegangan antara pengguna media sosial. Ketegangan tersebut sebenarnya digerakkan oleh kerja aktor yang dikenal sebagai opinion maker di media sosial.

Lalu bagaimana sebenarnya aktivitas di media sosial? Mengutip buku Can Democracy be Daved? Participation, Deliberation, and Social Movement yang ditulis Donatella Della Porta bahwa aktivitas di media sosial seperti jaring laba-laba. 

Dalam jaringan tersebut ada bagian inti atau pusat jaringan sebagai pusat seluruh aktivitas media sosial. Pusat inti jaringan tersebut dihubungkan oleh seorang aktor sebagai perantara.

Aktor sebagai perantara yang membuat aktivitas di media sosial dinamis tersebut saling menstimulasi aktor lainnya. Saling stimulasi antar aktor dalam satu kelompok kepentingan dengan aktor lainnnya pada titik tertentu dapat memicu perang siber. 

Perang siber dapat dipahami sebagai suatu situasi adanya proses penyangkalan, pengrusakan berbagai modifikasi informasi dengan tujuan yang ditentukan si pengirim, seperti: penyerangan, manipulasi, serangan balik, melalui berbagai cara siber, psikologis yang akan mempengaruhi atau mengganggu pihak musuh dalam aspek infrastruktur dan pengambilan keputusan. 

Dinilai sebagai hal yang berbahaya, Koordinator Forum Keamanan Siber dan Informasi (Formasi) Gildas Deograt Lumy mengingatkan bahwa hoaks bisa membawa kehancuran sebuah negara. Apalagi jika hoaks dibiarkan.

Gildas mencontohkan kehancuran negara-negara di Timur Tengah diawali dengan hoaks yang memecah belah. "Makanya, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia harus bersama-sama memerangi peredaran berita bohong atau hoaks," kata Gildas seperti dikutip Antara

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan