Akun-akun teror: Tumbuh subur pada era JAD, bekerja bak buzzer
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali meringkus sejumlah terduga teroris pendukung Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Sepanjang Maret 2022, setidaknya ada lima tersangka digulung. Kelimanya merupakan pengelola media propaganda ISIS bernama Annajiyah Media Centre.
"Annajiyah Media Center ini membuat dan menyebarkan poster-poster digital berisi propaganda yang bertujuan untuk membangkitkan semangat jihad, sehingga orang yang melihat terpicu melakukan jihad amaliyah," ujar Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabagbanops) Densus 88 Kombes Pol. Aswin Siregar kepada pewarta, Kamis (24/3).
Kelima tersangka ditangkap di berbagai lokasi pada pada pertengahan Maret lalu. Yang pertama ditangkap ialah mantan narapidana teroris berinisial MI. Diciduk di Kota Bandar Lampung pada 8 Maret 2022, MI berperan sebagai kreator dan penyebar poster-poster berisi propaganda ISIS di Annajiyah.
Sehari berselang, Densus 88 kembali menangkap tiga pentolan Annajiyah di sejumlah wilayah di Jakarta. Salah satunya ialah pendiri dan pemilik Annajiyah berinisial RBS. Ia diciduk Densus 88 di kediamannya di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, pada 9 Maret.
Tersangka terakhir, berinsial HP, ditangkap di Ciputat, Tangerang Selatan pada 15 Maret 2022. Berprofesi sebagai fotografer, HP berperan sebagai editor video di channel Telegram Annajiyah Media Center. Ia juga pemilik akun Instagram @info.akhirzaman yang rutin mengunggah poster maupun video propaganda ISIS.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan menyebut kelima tersangka terafiliasi dengan tim propaganda ISIS di Timur Tengah. Konten-konten mereka, kata Ramadhan, kebanyakan "diimpor".
"Mereka aktif menerima bahan-bahan dan kemudian menerjemahkan itu ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan disebarkan di medsos-medsos di Indonesia," jelas Ramadhan.
Dalam sebuah rapat kerja di DPR, Senayan, Januari lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengungkapkan BNPT sudah memantau aktivitas kelompok radikal di media sosial. Sepanjang 2021, BNPT menemukan setidaknya ada 600 akun yang rutin mengunggah konten-konten radikal.
"Di mana sekitar 409 di antaranya adalah konten yang bersifat umum dan merupakan konten informasi serangan, sebanyak 147 konten anti dengan NKRI, tujuh konten intoleran. Dua konten lainnya berkaitan dengan paham takfiri," ujar mantan Kadivhumas Polri tersebut.
Sejak 2017 hingga 22 Juni 2021, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkoinfo) telah memblokir 21.330 konten radikal. Konten-konten bernuansa propaganda terorisme yang tersebar di berbagai situs dan platform digital, semisal di Twitter, Instagram, dan Facebook.
Gencar pada era Aman
Mantan napi kasus terorisme Arif Budi Setyawan mengatakan terbongkarnya jaringan propaganda ISIS di Indonesia tak mengagetkan. Menurut Arif, medsos sudah lama digunakan kelompok teroris untuk menyebar paham radikal dan merekrut kader.
Salah satu pegiat medsos radikal, kata Arif, ialah pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Amdurahman. Lewat simpatisannya, Aman menyebar paham Tauhid Wal Jihad di jagat maya. Paham itu ia susun saat berada di balik jeruji besi pada 2009.
"Ini yang membuat ketika (Aman Abdurrahman) bebas, dia dengan cepat mendapatkan pengikut karena banyak yang mengikuti dia di forum jihad. Sehingga dia dipanggil ke pengajian ke sana ke mari. Itu karena orang sudah tahu dari online dulu," kata Arif kepada Alinea.id, Selasa (29/3).
Arif tahu seluk-beluk penyebaran paham radikal di jagat maya karena pernah jadi "pemain". Pada 2014, Arif ditangkap polisi lantaran mengedit dan menggunggah video baiat kelompok Mujahidin Indonesia Timur kepada pimpinan ISIS Al Baghdadi.
Menurut Arif, Aman mendorong para simpatisan ISIS menyebar propaganda di media sosial. Pada kelompok Tauhid Wal Jihad, kata dia, membela dan menyebarkan paham-paham ISIS ialah suatu bentuk keimanan para pengikutnya.
"Jadi ditutup sepuluh, dia bikin seratus akun. Karena itu adalah bukti (keimanan) yang paling lemah. Bukti yang paling rendah untuk membuktikan loyalitas kepada ISIS," kata pria asal Tuban, Jawa Timur itu.
Tauhid wal Jihad merupakan kelompok yang dibentuk Aman pada 2003. Kelompok tersebut diduga terlibat dalam sejumlah aksi teror di Indonesia, termasuk di antaranya aksi bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon pada 2011 dan rencana pengemboman Mapolsek Pasar Kliwon pada 2012.
Menurut Arif, Aman membagi tingkat keimanan para pengikutnya berbasis sumbangsih mereka. Para kader dianggap punya iman terkuat jika mau terjun langsung ke lapangan sebagai pelaku aksi dalam perang membela ISIS.
"Setia berbaiat kepada ISIS dan harus membuktikan memerangi musuh-musuh ISIS. Entah pakai ketapel, entah pakai sepeda motor, entah pakai samurai untuk membunuh polisi dan sebagainya," ujar eks anggota forum jihad Al-Busyro itu.
Tingkatan kedua adalah rela menyumbangkan harta untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Ketiga, menyumbangkan harta, tapi bukan untuk aksi teror. "Melainkan untuk menyantuni keluarga yang ditinggalkan di penjara," imbuh dia.
Kendati gencar pada era Aman, menurut Arif, sebenarnya upaya merekrut kader dan menyebar ideologi juga dilakukan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) pada awal 2000. Namun, forum-forum yang dibentuk JI ketika itu tertutup dan sulit diakses.
"Kalau jaman JI itu jihad online itu melalui forum seperti mirip Kaskus dan untuk masuknya harus member. Itu enggak mudah. Sementara saat Aman Abdurrahman sukses menyebarkan Tauhid Wal Jihad lewat media sosial. Sekarang marak sekali," kata Arif.
Meskipun pilihan medsos kian beragam, menurut Arif, Facebook tetap menjadi pilihan utama kelompok teroris untuk menyebar ideologinya. Itu karena bentuk unggahan di Facebook memungkinkan para teroris mengidentifikasi calon "korban" mereka.
"Misalnya gini di Facebook itu ada sebuah postingan atau kadang bisa jadi ada yang mengomentari dinamika terorisme. Dalam satu komentar itu, ternyata ada yang terlihat mendukung ISIS. Itu langsung didekatin. 'Oh, kita memiliki pemikiran yang sama'. Setelah kena, baru ditarik ke Telegram supaya lebih intensif," kata Arif.
Arif menilai belum ada terobosan yang ciamik untuk menangkal pertumbuhan akun-akun jihad di media sosial dan internet. Ia melihat Kemkominfo hanya sibuk menghapus akun yang diduga kuat berbaiat pada jaringan terorisme. "Ya, jadi capek akhirnya kerjanya. Orang ditutup mereka bisa bikin lagi," kata Arif.
Cara kerja akun teror
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ahmad Nurwakhid mengatakan BNPT rutin merekomendasikan akun yang mesti dihapus kepada Kemkominfo. Namun, ia mengakui akun-akun baru kerap bermunculan mengganti akun lama yang telah diblokir. Ada juga akun yang memang sengaja tak ditutup.
"Ada kepentingan untuk menindaklanjuti dalam rangka investigasi sehingga tidak direkomendasikan dihapus. Ada juga yang harus segera di-take down karena khawatir mempengaruhi masyarakat," ucap Nurwakhid kepada Alinea.id, Selasa (29/3).
BNPT, kata Nurwakhid, memantau akun-akun terindikasi radikal berbasis tiga hal, yakni kategori akunnya, para aktornya, dan narasi-narasi yang diunggah akun tersebut. Dari hasil pemantauan selama ini, akun-akun radikal lazimnya bergerak seperti kelompok buzzer.
Akun-akun itu, lanjut dia, dibikin anonim dan merilis unggahan secara sporadis. Meski begitu, akun-akun itu terhubung satu sama lainnya. Sejumlah akun, misalnya, mengunggah ulang sebuah video atau foto yang didapat dari akun "rekan" mereka. Begitu pula sebaliknya.
"Pola penyebaran narasi dilakukan dengan pola pengulangan narasi radikal, framing kejadian dengan hoax, penggiringan opini untuk menghasut, mengadu domba, dan memecah belah masyarakat dan pemerintah. Konten yang disebarkan cukup beragam baik tulisan, audio, e-book hingga video," kata Nurwakhid.
Pengamat terorisme dari Indonesia Muslim Crisis Center, Robi Sugara mengatakan penyebaran radikalisme di jagat maya terutama marak pada era "kejayaan" ISIS dan JAD di Indonesia. Hampir semua media sosial dirambah oleh kelompok-kelompok teroris.
"Mereka menggunakan Facebook, Instagam, Telegram, YouTube, Twitter. Semua paling mudah dijangkau oleh banyak pengguna sosmed di Indonesia," kata Robi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Robi menilai pemerintah bakal kesulitan membendung penyebaran konten-konten radikal di jagat maya. Apalagi, menurut dia, kelompok teroris kian cerdik mengakali algoritma medsos.
"Meski pihak otoritas media sosial seperti Facebook dan Twitter punya aturan ketat pada konten-konten kekerasan dari teroris untuk bisa tayang, tetapi kelompok teroris mengubah namanya supaya tidak terdeteksi oleh mesin algoritmanya. Jadi, tetap masih bisa menyebarkan," kata Robi.
Lebih jauh, Robi mengatakan cara terbaik untuk mengerem penyebaran radikalisme di jagat maya ialah dengan menangkap para pelakunya sebagaimana dilakukan Densus 88. Ia pesimistis penghapusan akun bisa efektif.
"Pada umumnya Densus 88 bisa mengetahui dari hasil penangkapan teroris sebelumnya sehingga mereka bisa dilacak. Sementara Kominfo kemungkinan bekerja hanya sekadar menggunakan sistem deteksi dari mesin saja," kata Robi.