close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Sukma Violetta (kanan) berbincang dengan Staf Bidang Data dan Informasi KY Festy Rahma H (kiri) memberikan pemaparan tentang laporan masyarakat pada semester I 2019 di kantor Komisi Yudisial./
icon caption
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Sukma Violetta (kanan) berbincang dengan Staf Bidang Data dan Informasi KY Festy Rahma H (kiri) memberikan pemaparan tentang laporan masyarakat pada semester I 2019 di kantor Komisi Yudisial./
Nasional
Senin, 05 Agustus 2019 11:52

Alasan hakim Elfian dilaporkan ke KY usai menolak gugatan pengamen

Keputusan hakim Elfian dianggap bertentangan jika hanya mengacu pada PK Mahkamah Agung.
swipe

Oky Wiratama Siagian, kuasa hukum empat pengamen yang menjadi korban salah tangkap aparat keamanan merasa perlu melaporkan hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Elfian ke Komisi Yudisial (KY). Elfian telah memutus menolak permohonan ganti rugi yang diajukan empat pengamen.

Meski tak akan menganulir putusan, kata Oky, setidaknya hakim Elfian akan mendapat sanksi kode etik jika terbukti bersalah dalam memutus perkara terhadap empat pengamen yang ditangkap secara paksa oleh polisi.

Menurut Oky, hakim Elfian tak memiliki dasar hukum dalam memutuskan menolak gugatan keempat kliennya itu. Mengingat, pada sidang praperadilan yang sudah berlangsung, hakim hanya menggunakan petikan putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) pada Maret 2016 tanpa melihat salinan putusannya. 

Menurut Oky, hal tersebut bertentangan karena pihaknya mengajukan sidang praperadilan pada 21 Juni 2019, berdasarkan salinan putusan PK MA yang baru diterima pada 25 Maret 2019.

“Yang terjadi dalam kasus praperadilan kemarin hakim tidak memberikan dasar hukum yang mengesampingkan salinan putusan yang kami terima tanggal 25 maret 2019. Ketiadaan dasar hukum itulah yang membuat kami melaporkan ke KY,” kata Oky saat dihubungi Alinea.id di Jakarta pada Senin (5/8).

Oky menjelaskan, dasar hukum menjadi penting karena hal itu sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 82 ayat 2 yang berbunyi bahwa putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

"Sesuai KUHAP harusnya hakim dalam putusan harus ada dasar hukumnya, ini tidak ada," katanya.

Sebelumnya, empat pengamen Cipulir yang terdiri atas Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga Putra Samosir alias Ucok, dan Bagus Firdaus alias PAU mengajukan gugatan praperadilan ganti rugi karena jadi korban salah tangkap polisi. Mereka dituduh melakukan pembunuhan di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada 2013.

Para pengamen tersebut menyatakan dipaksa polisi untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Bahkan, mereka dinyatakan bersalah dan divonis kurungan penjara dengan hukuman bervariasi. Namun, dalam putusan banding dan kasasi Mahkamah Agung pada 2016, mereka dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah.

Karena hal tersebut, empat pengamen itu meminta ganti rugi sebesar Rp750,9 juta. Nilai tersebut dihitung dari ganti rugi materiil senilai Rp662,4 juta dan imateriil senilai Rp88,5juta. Mereka juga menuntut kepolisian dan kejaksaan meminta maaf karena telah salah tangkap, salah proses, dan penyiksaan terhadap empat pengamen anak itu.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan