close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyampaikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/3/2019).  Antara Foto
icon caption
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyampaikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/3/2019). Antara Foto
Nasional
Selasa, 19 Maret 2019 14:44

Alasan kasus korupsi sebaiknya hanya disidik oleh KPK

Tindak pidana korupsi tergolong kejahatan luar biasa. Seharusnya ditangani lembaga yang memiliki kewenangan luas, yang mana ada pada KPK.
swipe

Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S Hiarie, menyarankan untuk mengembalikan penyidik tunggal tindak pidana korupsi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, tindak pidana korupsi tergolong kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.

“Seharusnya ditangani lembaga yang memiliki kewenangan luas, yang mana kewenangan tersebut terdapat pada KPK,” kata Eddy dalam sebuah seminar di Jakarta pada Selasa, (19/3).

Menurut Eddy, hanya di Indonesia wewenang menyidik tindak pidana korupsi diberikan kepada lebih dari satu lembaga yakni kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Celakanya, tiga lembaga itu memiliki standar yang berbeda-beda. Akibatnya, muncul diskriminasi.

"Sebetulnya, mau seratus atau seribu lembaga, bahkan ataupun lebih, tidak masalah. Asalkan standarnya sama. Tapi ini persoalannya standarnya tidak sama, maka terjadi diskriminasi," ujar Eddy.

Karena tak memiliki standar yang sama itulah, Eddy menyarankan untuk melimpahkan seluruh wewenang menyidik tindak pidana korupsi kepada KPK. 

Eddy menjelaskan, jika kasus tindak pidana korupsi yang ditangani kepolisian, maka berlaku asas diferensiasi fungsional, yang mana kepolisian memiliki wewenang menyidik. Sedangkan penuntutannya diserahkan kepada penuntut umum atau jaksa. Kemudian, hakim yang memutuskannya.

Sementara jikalau kasus tipikor ditangani kejaksaan, maka tidak berlaku asas diferensiasi fungsional karena kejaksaan menyidik sekaligus menuntut. Dengan demikian, antara kepolisian dan kejaksaan terdapat kesamaan. 

“Apabila tidak mempunyai cukup bukti, maka keduanya boleh menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3),” ujarnya.

Namun, Eddy melanjutkan, ternyata berbeda dengan KPK. Lembaga anti rasuah itu tidak memiliki diferensiasi fungsional seperti kejaksaan, sehingga KPK bisa menyidik sekaligus menuntut. Akan tetapi, kata Eddy, KPK tidak memiliki mekanisme SP3.

Karena KPK tidak punya mekanisme SP3 itu, lalu seseorang yang terduga korupsi akan berstatus tersangka terus. Dikhawatirkan, jika sudah 4 tahun terduga korupsi berstatus tersangka dikhawatirkan statusnya itu dapat menyemai stigma.

"Sudah ada stigma, orang itu koruptor pula. Kemana-mana dibatasi. Padahal, seharusnya ada pengadilan yang segera memutusnya, apakah terduga korupsi tersebut memang koruptor atau tidak. Ini semua karena di KPK tidak ada mekanisme SP3. Inilah yang saya kritik, makanya serahkan saja penyidik tunggal ada pada KPK," kata Eddy.

Menurut Eddy, KPK harus memiliki minimal tujuh lembaga perwakilan di daerah, sehingga tentunya
KPK harus mengadakan rekruitmen besar-besaran. Selain perwakilan daerah, KPK juga harus memiliki wewenang SP3.

"Emang sudah selayaknya, demi efisiensi dan efektivitas, KPK juga harus menjadi lembaga penyidik sekaligus penuntut, yang juga mengantongi wewenang SP3," tutur Eddy.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan