Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan, alasan mengapa korban kekerasan seksual enggan melapor ke polisi lantaran mereka tidak dapat memahami secara penuh apa yang terjadi terhadap dirinya.
Masing-masing dari mereka membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mengakui bahwa dirinya korban. Sehingga, sering ada penundaan untuk melapor ke sistem peradilan pidana (kepolisian).
Selain itu, sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum memiliki perspektif gender yang baik. Tidak semua aparat penegak hukum mengerti bagaimana memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual.
“Ada ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan jika aparat penegak hukum mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan korban. Misalnya, kalau korban kenal dengan pelaku, polisi menuduhnya suka sama suka, padahal enggak," ucapnya dalam Talking with Alinea berjudul Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia; Benarkah No Viral No Justice, Rabu (26/1).
Faktor lainnya menurut dia, sistem pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang memberatkan untuk kasus kekerasan seksual. Korban kasus kekerasan seksual berusia 18 tahun ke atas harus memiliki berbagai bukti (keterangan korban, saksi, saksi ahli, korban, hingga pelaku).
Dalam prinsip KUHAP sendiri, minimal dua orang saksi yang melihat dan mengetahui kejadian kekerasan seksual. Padahal, kasus kekerasan seksual selalu dilakukan di ruang tertutup. Maka, kasus kekerasan seksual umumnya hanya berpangku pada keterangan korban saja.
Konteks sosial di Indonesia juga menjadi faktor keengganan korban melapor. Persoalan moralitas, seperti hubungan seksual di luar nikah hingga kekerasan seksual, kerap menyalahkan perempuan.
Biasanya, masyarakat menyalahkan perempuan yang tidak mampu menjaga diri.
“Sehingga, korban tidak akan cerita kepada orang lain. Jarang korban bercerita kepada orang lain kalau saya baru saja diperkosa, bahkan saksi yang mengetahui tidak langsung ada,” ujar Siti Aminah.
Disisi lain, korban cenderung melaporkan atau berbicara kasus kekerasan seksual yang menimpanya ke media sosial. Korban kasus kekerasan seksual yang berbicara ke media sosial berharap mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga pengawas hingga warganet. Media sosial merupakan ruang untuk berkomunikasi yang lebih terbuka.
Menurut Siti Aminah, tidak semua kasus kekerasan seksual harus viral terlebih dahulu jika ingin mendapatkan keadilan. Sebab, banyak juga aparat penegak hukum yang bekerja dengan baik dalam menangani kekerasan seksual, sehingga korban mendapatkan keadilan dan akses terhadap pemulihan.
“Namun, saya sepakat bahwa proses korban speak up ini adalah salah satu upaya untuk mencari bantuan atau perhatian lembaga-lembaga pengawas maupun atasan dari sistem peradilan pidana, ketika hambatan-hambatan keadilan itu diterima oleh korban,” tutur Siti Aminah.