Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengklaim, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) seyogianya disusun dengan prinsip nasionalisme dan melibatkan masyarakat. Menurutnya, perbedaan pemahaman dan pendapat merupakan suatu kontribusi positif.
Edward menambahkan, perbedaan tersebut perlu disikapi dengan diskusi komprehensif dari seluruh elemen masyarakat. Terkait itu, menggandeng para akademisi, praktisi, dan pakar hukum pidana.
"Agar dalam implementasi dan aplikasi dari pelaksanaan RUU KUHP dapat dilaksanakan sesuai kaidah hukum, asas hukum pidana, prinsip dan tujuan pembaharuan hukum pidana," ujarnya dalam diskusi publik RKUHP di Jakarta, Senin (14/6).
Terpisah, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyoroti agenda diskusi tersebut. Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, pemerintah tak melibatkan termasuk memberikan porsi yang seimbang untuk masyarakat sipil atau akademisi guna menyampaikan pandangannya.
"Acara diskusi ini lebih pada sosialisasi searah daripada diskusi substansi yang lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat," ucapnya yang juga perwakilan Aliansi.
Dia mengakui, beberapa anggota Aliansi memang diundang dalam sosialisasi tersebut, Namun, porsi masukan hanya dialokasikan satu jam dan pada sesi tanya jawab.
Jatah itu tak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan enam pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu tiga jam. "Hal lain, tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh pemerintah, seperti dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi kesehatan reproduksi, kelompok rentan, dan lain sebagainya," jelasnya.
Aliansi berpendapat, ada ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang dibahas. Kata Maidina, pemerintah dan DPR tidak secara jelas memberi ketegasan apakah yang diedarkan pada sosialisasi di Manado—sebelum diskusi Jakarta—merupakan draf terbaru atau dokumen lama yang ditolak publik pada September 2019. Jika draf itu baru, Aliansi tak melihat adanya perubahan.
Maidina mengatakan, sikap Aliansi terhadap RKUHP adalah mendukung pembaharuan serta sejalan dengan pemerintah dan DPR yang ingin buat KUHP jauh dari sifat kolonial, modern, dan sesuai dengan konstitusi. Namun, dia menekankan, penolakan pada 2019 yang berakibat pada penundaan pengesahan karena muatan dalam rancangan beleid itu.
Oleh karena itu, RKUHP butuh dibahas secara substansial dengan keterbukaan dari pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal, atau koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif. Menurutnya, pihak yang dilibatkan tidak hanya ahli hukum pidana, melainkan juga pakar bidang lain.
"Bukan hanya sosialisasi searah terus-menurus seakan masyarakat tidak paham masalah RKUHP. Dan apabila pemerintah dan DPR masih ingkar, nampaknya penolakan masyarakat akan sulit untuk dibendung," kata dia.