Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian mengembangkan teknologi pestisida alami baru. Pestisida ini memanfaatkan potensi formula Nano Biopestisida Serai Wangi.
Menurut Rita Noveriza, Peneliti dari Balittro Bidang Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman, teknologi nano merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang zat, material dengan sistem skala nanometer.
“Untuk menggambarkan nanometer, satu tetesan air hujan, ada 100.000 partikel bahan aktif yang berukuran 100 nanometer,” jelas Rita dalam bimtek daring dengan tema ‘Nano Pestisida Nabati Minyak Atsiri: Formulasi dan keefektifannya’ via Zoom pada Rabu (15/9).
Nano Biopestisida berbahan utama minyak Serai Wangi 10 EC yang terdiri dari bahan aktif droplet minyak serai wangi berukuran 100-200 nanometer. Berfungsi sebagai antiviral, antijamur, dan insektisida.
Cara pemakaian pestisida ini sangat mudah. Yakni, tentukan konsentrasi yang dianjurkan, kemudian larutkan dalam air. Lalu, campuran tersebut disemprotkan pada seluruh permukaan jaringan tanaman dengan dosis 10-100 ml per tanaman atau sesuai komoditas, usia, dan tinggi tanaman.
Nano Biopestisida Serai Wangi ini efektif untuk mengurangi risiko terpaparnya virus kuning, jamur, antraknosa, dan mosaik pada tanaman. “Pada tanaman yang diaplikasikan Nano Biopestisida Serai Wangi yang terinfeksi penyakit virus kuning sebesar 5%, sedangkan tanpa perlakuan, jauh lebih besar, yaitu sekitar 20%,” jelas Rita Noveriza.
Selain menjauhkan dari penyakit tanaman, pestisida ini juga dapat mengendalikan hama. Salah satu contoh penelitian yang sudah dilakukan adalah pada tanaman jahe merah.
Saat tanaman diberi pestisida dengan konsentrasi Nano Pestisida Serawangi sebesar 1% (10 ml per lier air), maka didapati bahwa setelah tiga hari pengaplikasian, dapat mengurangi populasi hama lalat rimpang sebesar 80%.
Selain diuji coba pada tanaman, pestisida ini diujicobakan juga pada hayati atau hewan. Menurut hasil laboratorium uji Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan, ikan mas dan nila yang sudah diberi pestisida ini menunjukkan tidak ada dampak yang mematikan.
Hasil uji menuliskan indikator prakiraan dampak dengan kredit ‘tidak mudarat’. Menurut para petani, saat menggunakan pestisida kimia, maka dampak yang dihasilkan banyak. Bahkan ketika terkena tangan secara langsung bisa picu gatal-gatal dan melepuh.
"Kalau nyemprot mesti pakai pelindung lengkap. Kalau kena kulit tangan langsung suka gatel- gatel atau melepuh. Selain itu, jika tidak mencuci buah hasil pestisida kimia dengan bersih, maka bisa mengakibatkan demam atau muntah-muntah. Namun berbeda dengan pestisida alami ini, para petani mengatakan bahwa aroma dari pestisida ini lebih wangi. Mereka juga tidak takut saat menyemprot tanpa pelindung," katanya.
Keunggulan dari pemanfaatan pestisida nabati adalah meningkatkan efisiensi karena menggunakan bahan aktif yang lebih rendah. Seperti yang sudah diteliti pada ikan mas dan ikan nila, tidak ada dampak yang ditimbulkan. Ini membuktikan pestisida nabati ini memiliki toksisitas rendah terhadap organisme non target.
Pestisida ini juga tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah dan sumber air karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kemudian meminimalkan resistensi hama, dan biaya yang dikeluarkan lebih rendah serta penyimpanannya juga mudah.
Untuk mengaplikasikan pestisida dengan hasil yang lebih maksimal, maka diperlukan teknik yang tepat. Pertama, harus tepat waktu. Struktur protein pestisida ini akan mengalami denaturasi maksimum 41 derajat. Kedua, harus tepat cara karena pestisida tidak dapat digunakan melampaui dosis maksimal karena bisa menyebabkan keracunan dan malformasi.
“Pestisida yang digunakan tidak tepat dosis akan menyebabkan keracunan,” ujar Rita.
Ketiga, harus tepat sasaran. Saat mengaplikasian, petani harus menggunakan alat yang tepat agar dapat jatuh dan langsung kena pada tanaman. Droplet harus mengebut saat menuju tanaman. Terakhir, pestisida harus tepat jenis dan diaplikasikan sesuai dengan OPT (organisme pengganggu tanaman).