close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Sosial nonaktif Juliari P Batubara/Antara Foto
icon caption
Menteri Sosial nonaktif Juliari P Batubara/Antara Foto
Nasional
Selasa, 24 Agustus 2021 17:21

Amarah warganet tak menginspirasi hakim atas vonis Juliari, terjebak opini publik?

Patut diduga putusan hakim pada kasus JB menunjukkan betapa medsos punya kekuatan dalam mempengaruhi emosi hakim.
swipe

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan sumber simpati hakim terkait vonis 12 tahun terhadap bekas Menteri Sosial Juliari Batubara (JB) dalam perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Dalam sidang Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat membeberkan alasan menjatuhkan vonis ringan terhadap Juliari. Salah satunya, majelis hakim menilai Juliari sudah cukup menderita karena mendapatkan "bullying" dari masyarakat berupa caci-maki dan penghinaan.

"Pertanyaannya, di manakah hakim memperoleh pengetahuan tentang perlakuan masyarakat terhadap JB? Karena aktivitas sosial hakim sangat terbatas bahkan dibatasi, maka tampaknya media sosial yang menjadi referensi hakim," kata Reza kepada Alinea.id, Selasa (24/8).

Jika benar demikian, kata Reza, maka benarlah bahwa kerja hakim juga bisa dijelaskan lewat public opinion model. Bedanya, kata Reza, dalam kasus JB, amarah warganet tidak menginspirasi hakim untuk menghasilkan putusan yang merepresentasikan sentimen serupa. Sebaliknya, bacaan hakim terhadap opini publik justru memunculkan simpati hakim terhadap diri terdakwa.

"Apakah aktif memperoleh dan mempertimbangkan hal-hal yang tidak dihadirkan di persidangan merupakan kerja yudisial yang dapat dibenarkan? Seberapa jauh hakim dibolehkan membuka diri terhadap pengaruh opini khalayak? Juga, ketika pada akhirnya hakim bersimpati pada terdakwa akibat unsur ekstrayudisial tersebut, apakah itu pertanda terusiknya objektivitas hakim? Dibutuhkan kajian dan penyikapan serius tentang itu. Termasuk dengan mengecek seberapa jauh kode etik dan pedoman perilaku hakim telah menyentuh masalah tersebut," ujar Reza.

Reza mengatakan, yang jelas dan patut diduga bahwa putusan hakim pada kasus JB menunjukkan betapa media sosial memiliki kekuatan dalam mempengaruhi emosi hakim, bahkan berpotensi menyimpangkan kerja hakim.

Spesifik dalam kasus JB, katanya, informasi dari media sosial tidak digunakan untuk memahami substansi perkara secara lebih akurat, melainkan justru tanpa sadar membangun sentimen positif atas diri terdakwa.

Menginsafi risiko yang disebabkan media sosial, lanjut Reza, seorang juri di Australia pada tahun 2014 dihukum kurungan setelah mempelajari profil terdakwa dan korban lewat Facebook mereka. Juri lain juga dianggap melakukan contempt of court dan didenda ribuan dolar setelah meng-Google riwayat hidup terdakwa.

Reza menjelaskan, memang, media sosial juga memiliki prospek positif bagi hakim. Antara lain, media sosial memungkinkan hakim mengedukasi publik agar lebih melek dan taat hukum. Namun dengan segala macam sisi rawan yang ada pada media sosial, penting bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengambil langkah guna melindungi para hakim dari ekses negatif teknologi informasi dan komunikasi yang bisa muncul.

"Pertanyaan utamanya bukan pada boleh tidaknya hakim menggunakan media sosial, melainkan pada bagaimana sang pengadil dapat bermedia sosial tanpa keluar dari parameter etika dan integritas yudisial," pungkasnya.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan