close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah aktivis menunjukan bingkai foto masyarakat Papua usai memberikan keterangan pers di Kantor Kontras, Jakarta, Selasa (20/8). /Antara Foto
icon caption
Sejumlah aktivis menunjukan bingkai foto masyarakat Papua usai memberikan keterangan pers di Kantor Kontras, Jakarta, Selasa (20/8). /Antara Foto
Nasional
Selasa, 20 Agustus 2019 21:12

Amnesty: Diskriminasi terhadap warga Papua kian parah

Setidaknya ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua pada periode Januari 2010-Februari 2018.
swipe

Kasus-kasus diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap warga Papua cenderung naik angkanya. Menurut catatan Amnesty International Indonesia, kekerasan dan diskriminasi terhadap penghuni Bumi Cendrawasih makin menjadi-jadi sejak sepuluh tahun terakhir. 

Salah satu indikatornya ialah jumlah pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) yang terjadi di tanah Papua. Manajer Riset Amnesty International Indonesia Papang Hidayat, setidaknya ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018.

"Kasus ini telah memakan 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama," ujar Papang di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Ironisnya, pemerintah seolah tutup mata terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Yang paling gamblang, dicontohkan Papang, terlihat pada kasus dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa penembakan terhadap pengunjuk rasa di Paniai pada 8 Desember 2014. 

Ketika itu, ratusan warga berkumpul untuk berunjuk rasa di dekat markas militer dan polisi setempat di kota Eranotali, Kabupaten Paniai. "Demonstrasi ini merupakan respons warga atas dugaan pemukulan 11 anak Papua oleh personel militer sehari sebelumnya," terang Papang.

Unjuk rasa saat itu memanas ditandai lemparan batu dan kayu ke instalasi militer dan gedung milik kepolisian. Aparat keamanan membalas dengan menembaki kerumunan pengunjuk rasa menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dan belasan lainnya luka-luka. 

Pada perayaan Natal nasional di Papua tiga pekan berikutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pada saat itu baru saja dilantik mengatakan pemerintahannya berkomitmen untuk segera mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Peristiwa penembakan Paniai itu, lanjut Papang, menjadi ujian bagi pemerintahan Jokowi untuk mengakhiri impunitas terhadap para pelanggar HAM, terutama pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua dan seluruh Indonesia.

"Peristiwa ini membuktikan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi, sama seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, telah gagal dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua," terang dia.

Kini, Papua kembali bergejolak. Diawali penangkapan terhadap 43 mahasiswa Papua di Surabaya, Ahad (18/8) lalu, unjuk rasa-rasa besar-besaran digelar di sejumlah daerah di Papua. Di Manokwari, warga yang tersulut emosinya bahkan membakar kantor DPRD setempat. 

Kepala Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Khalisa Khalid mengatakan, negara masih bersikap tidak adil kepada masyarakat Papua. Padahal, sumber daya alam (SDA) telah dikeruk besar-besaran demi kepentingan ekonomi nasional.

"Tanahnya, airnya, sumber dayanya, semuanya diminta negara dari Papua. Tapi, apa yang negara berikan pada Papua? Yang terjadi malah dibalas dengan bedil, militer, buldoser, korporat, praktik kekerasan, perampasan tanah, dan negara terus melakukan penghancuran hutan dan lingkungan," ujar Khalisa.

Lebih jauh, Khalisa juga mengkritik pernyataan minta maaf dari Jokowi usai tanah Papua kembali bergejolak. Menurut dia, permintaan maaf saja tidak cukup. 

"Nah, sebenarnya harapan kami Presiden dalam pernyataannya juga mengecam, tidak membiarkan tindakan rasisme terjadi. Karena pembiaran akan terus melahirkan satu bentuk rasisme baru yang muncul," kata dia.
 

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan