Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritisi vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim kepada Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Menurutnya, hakim dapat bersikap lebih adil tanpa harus menjatuhkan vonis mati.
"Meski Sambo perlu dihukum berat, ia tetap berhak untuk hidup," kata Usman dalam keterangan resmi, Senin (13/2).
Usman mengakui perbuatan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J merupakan kejahatan serius dan sulit ditoleransi. Apalagi, Ferdy Sambo saat itu masih memegang jabatan sebagai Kadiv Propam Polri.
Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menganggap kasus ini sebagai pembunuhan di luar putusan pengadilan (extrajudicial killing). Artinya, perbuatan tersebut tergolong kejahatan di bawah hukum internasional.
Usman pun sepakat kejahatan yang dilakukan aparat negara harus dijatuhi hukuman berat. Namun, tetap harus adil tanpa harus memberikan vonis mati.
"Amnesty tidak anti-penghukuman. Kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat, tetapi tetap harus adil tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman," tuturnya.
Amnesty International, imbuh Usman, menolak vonis hukuman mati. Sebab, prinsip untuk tak melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tak manusiawi atau merendahkan martabat harus diterapkan dalam situasi apa pun.
"Amnesty International tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, ataupun metode eksekusi yang digunakan," papar Usman.
Menurut Usman, seharusnya negara berfokus membenahi sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan. Selain itu, penting juga memutus impunitas terhadap aparatur negara agar tidak terus berulang.
Terlebih, kata Usman, pihaknya mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat kerap tidak diusut tuntas. Sepanjang 2022, Amnesty mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang berada di luar wilayah Papua/Papua Barat mencapai 30 kasus dengan 31 korban.
Mayoritas terduga pelaku atau dari 27 kasus adalah anggota kepolisian. Setidaknya hingga akhir 2022, baru 4 dari 27 kasus tersebut yang telah diproses hukum.
"Jangan melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan oleh aparatur negara atas nama apa pun bahkan dalam keadaan darurat sekali pun," tutur dia.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang tak lain adalah eks ajudannya.
Ketua hakim, Wahyu Iman Santosa, mengatakan, majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah menembak Brigadir J menggunakan senjata api jenis Glock. Hakim pun tidak melihat ada yang meringankan dari terdakwa Sambo.
"Menjatuhkan vonis pidana mati bagi terdakwa Ferdy Sambo," kata Wahyu Iman saat membacakan putusan. Eks petinggi Polri dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua itu dinilai melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.