Amuk flu Spanyol di Madura masa lalu
Pada Senin (21/6) ribuan warga Madura berunjuk rasa, menolak penyekatan Jembatan Suramadu. Iring-iringan kendaraan bermotor pengunjuk rasa, bergerak dari arah Bangkalan menuju Balai Kota Surabaya, Jawa Timur.
Penyekatan di Jembatan Suramadu dari arah Kota Surabaya maupun Kabupaten Bangkalan mulai dilakukan pada Kamis (17/6). Mengutip Antara, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, penyekatan merupakan arahan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk memutus penyebaran Covid-19.
Sebelum aksi unjuk rasa, beberapa fasilitas di posko penyekatan sempat dirusak warga pada Jumat (18/6) pagi. Menurut Antara, petugas dan tenaga kesehatan yang tak mampu menghalangi warga pun menyelamatkan diri.
“Mereka tergesa-gesa mau bekerja dan berangkat sebelum subuh. Lalu di sini ada penumpukan, sehingga harus menunggu. Saat itu ada yang tidak sabar, yang lain terpengaruh,” kata Wakil Sekretaris Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya, Irvan Widyanto, seperti dilansir dari Antara, Jumat (18/6).
Sehari setelah demonstrasi posko penyekatan di sisi Surabaya kembali diserang sekelompok pengendara sepeda motor yang datang dari arah Madura, pada Selasa (22/6) dini hari.
Pemprov Jawa Timur mengambil langkah penyekatan karena terjadi lonjakan kasus baru Covid-19 di Kabupaten Bangkalan. Dikutip dari Antara, 29 Juni 2021, ratusan orang terkonfirmasi positif Covid-19, di antaranya varian Delta. Varian itu dianggap pemicu cepatnya penularan. Tingkat keparahan pasien yang terpapar varian Delta pun cukup tinggi karena banyak orang yang terinfeksi datang ke rumah sakit dalam keadaan cukup parah.
Petugas di penyekatan itu melakukan tes cepat antigen bagi warga Madura yang hendak ke Surabaya. Hasilnya, setelah tiga hari pemeriksaan, ada 239 orang pengendara di penyekatan Jembatan Suramadu sisi Surabaya positif.
Menurut Bupati Bangkalan, Abdul Latif Amin, seperti dilansir dari Antara, lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan salah satunya karena masyarakat abai protokol kesehatan. Terutama saat liburan hari raya Idulfitri.
Sekitar 100 tahun silam, Madura pun pernah diamuk flu Spanyol yang ganas. Menghabisi banyak orang yang terinfeksi.
Mirip Covid-19 hari ini, flu Spanyol menyerang sistem pernapasan, melalui penularan dari cairan tubuh orang yang terinfeksi, ketika batuk, bersin, atau berbicara. Bedanya, virus influenza tipe A H1N1 membunuh mereka yang berusia produktif, antara 20 tahun hingga 40 tahun, meski anak-anak dan orang tua pun cukup rentan.
Masuk ke Hindia Belanda
Menurut Ravando dalam buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919 (2020) di Hindia Belanda, flu Spanyol menyebar dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada Juli hingga September 1918, dengan tingkat kematian yang rendah. Gelombang kedua terjadi pada akhir November hingga Desember 1918, dengan mortalitas yang lebih tinggi dan penularan yang makin cepat.
Pada gelombang kedua, bukan cuma Jawa dan Sumatera saja yang dibuat kewalahan, virus menyebar nyaris ke seluruh Hindia Belanda. Bahkan, hingga pertengahan 1919, di Indonesia masa kolonial bagian timur, pandemi masih menjangkit.
Sumatera dianggap sebagai titik awal penyebaran virus. Pada Juni 1918, perkebunan di Pankatan, Sumatera Timur—sekarang Sumatera Utara—gempar. Beberapa pekerjanya terkulai lemas, diduga terinfeksi virus tersebut.
Ravando menulis, berdasarkan investigasi Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda, kuli-kuli di perkebunan itu tertular virus dari Singapura atau Penang.
Pada Juli 1918, muncul pula laporan penumpang kapal dari Singapura yang singgah di Tanjung Pandan, Belitung, terinfeksi influenza.
“Virus itu menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Sumatera. Jalur laut menjadi medium utama penyebaran, mengingat tak ada kontrol ketat di pelabuhan,” tulis Ravando.
Dari Sumatera, penyakit menular itu menyebar ke Borneo (sekarang Kalimantan) dan berbagai daerah di Jawa. Faktanya, penularan di Hindia Belanda merupakan buntut dari abainya pemerintah kolonial terhadap informasi virus berbahaya yang mula menyebar di Eropa itu.
Menurut Priyanto Wibowo dkk dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2009), ketika pandemi menyerang Asia pada April 1918, konsulat Belanda di Singapura memberi peringatan kepada pemerintah kolonial di Batavia agar mencegah kapal-kapal dari Hong Kong—yang sudah menjadi episentrum flu Spanyol di Asia—merapat di pelaburan Batavia dan menurunkan penumpang di sana.
“Peringatan tersebut ternyata tidak begitu diperhatikan pemerintah di Batavia, kecuali hanya dengan melakukan tindakan pencegahan, yaitu memperketat pengawasan terhadap kapal-kapal yang datang dari Hong Kong, khususnya setelah transit dari Singapura,” kata Priyanto dkk.
Pada Juli 1918, sejumlah rumah sakit melaporkan pasien yang bergejala influenza. Masalah semakin rumit kala penguasa daerah mulai melaporkan adanya kenaikan jumlah pasien influenza.
Priyanto dkk menulis, salah satu yang melapor adalah Asisten Residen Banyuwangi. Kepada pemerintah kolonial di Batavia, melalui telegram tertanggal 2 Desember 1918, Asisten Residen Banyuwangi melaporkan, dalam waktu singkat, sekitar sepekan, penyakit ini mulai menjangkiti Jawa Timur.
Menewaskan jutaan orang
Saat gelombang kedua di Hindia Belanda, flu Spanyol yang dikenal dengan beragam istilah, seperti “penyakit baru”, “penyakit Rusia”, “penyakit aneh”, “penyakit hari ini”, “penyakit Spanyol”, dan “penyakit influenza” ini memakan korban yang tak sedikit.
Ravando menggambarkan parahnya gelombang kedua ini dari catatan Kolonial Verslag (Laporan Kolonial, 1919), yang melaporkan selama November 1918 terjadi pengingkatan angka kematian hingga 416.000 jiwa di Hindia Belanda, dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya.
“Sebagian besar dari mereka dilaporkan meninggal akibat flu Spanyol dan komplikasi dengan pneumonia,” tulis Ravando.
Selama November 1918, BGD mencatat kenaikan kematian hingga 18% di Jawa dan Madura saja.
“Surabaya sebagai kota pelabuhan utama, juga diserang wabah influenza dan menjadi pintu masuk penyebaran hingga ke daerah sekitarnya,” tulis Priyanto dkk.
Ravando pun menyebut, saat pandemi flu Spanyol, Jawa Timur kerap jadi sorotan media lantaran di sana terdapat pelabuhan strategis tempat singgah kapal-kapal dari penjuru Hindia Belanda.
Kematian di Jawa Timur mencatatkan angka 42,0 orang per 1.000 jiwa pada 1918 atau naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam gelombang kedua flu Spanyol, kata Ravando, di Surabaya korban berjatuhan. Pada 3 dan 4 November 1918 saja, penyakit menular yang mematikan itu merenggut nyawa 199 orang. Pasien pun membeludak.
“Saking penuhnya Stadtverband, pasien baru yang ingin berobat pun terpaksa ditolak,” ujar Ravando.
Persentase kematian di wilayah Jawa Timur, sebut Ravando, di atas 40%. Kematian tertinggi ada di Pasuruan, dengan persentase 48,5% hanya pada Desember 1918. Lalu, Blitar 45,8%, Malang 43,3%, dan Banyuwangi 42,3%.
BGD, seperti yang dikutip Ravando, menyebutkan selama 1918 kematian di Madura termasuk rendah bila dibandingkan di berbagai wilayah di Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Namun, riset Direktur Pusat Studi Asia di Michigan State University Siddharth Chandra berjudul “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-1919 in Indonesia” yang terbit di Population Studies volume 67 nomor 2 (2013) menyebut, Madura justru menjadi wilayah dengan persentase kehilangan populasi terbesar di Hindia Belanda selama pandemi flu Spanyol 1918-1919 sebesar 23,71%. Disusul dengan Banten 21,13%, Kediri 20,62%, Surabaya 17,54%, dan Cirebon 16,62%.
Flu Spanyol yang menyebar di Madura, menurut Ravando yang mengutip Sin Po edisi 7 dan 8 November 1918, membuat kantor pos di Pamekasan terganggu pelayanannya. Banyak pegawai di kantor pos mengeluh sakit.
Sementara di daerah Sampang, memaksa sekolah-sekolah di Turjon dan Pangarengan ditutup. “Belajar mengajar terpaksa dihentikan karena 50%-60% murid sakit,” tulis Ravando.
Masalah lain muncul. Musim kemarau dan gagal panen melanda wilayah Madura. Stok persediaan makanan dinilai tak bakal mencukupi hingga awal 1919. Bahaya kelaparan pun mengintai.
Daerah Bangkalan, tulis Ravando, menjadi yang paling potensial dihantam bahaya kelaparan. Di samping udara yang terlalu panas, kata Ravando, flu Spanyol menyebabkan banyak petani tak bisa menggarap sawahnya.
Segala macam usaha untuk menangkal flu Spanyol pun dilakukan, mulai meminum segala macam ramuan tradisional hingga ritual. Misalnya, Patih Bangkalan percaya, guyuran hujan bisa membuat flu Spanyol di wilayahnya sirna.
Dicukil dari Neratja edisi 4 Desember 1918, ia kemudian mengumpulkan pemuka agama untuk berdoa memohon hujan turun. “Tidak dijelaskan apakah ritual itu berhasil, tetapi Bangkalan memang menjadi salah satu wilayah dengan angka mortalitas terendah selama serangan gelombang kedua flu Spanyol,” kata Ravando.
Berdasarkan penelitiannya, Ravando menulis, hingga November 1918 influenza memang belum menelan korban di kota-kota besar di Madura. Meski begitu, di wilayah perdesaan, belasan orang meninggal setiap hari karena penyakit tersebut.
Flu Spanyol menghilang secara misterius dari Hindia Belanda pada 1920. Virus itu diperkirakan menghabisi nyawa 20-50 juta orang di seluruh dunia.
Riset Colin Brown bertajuk “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia” yang terbit di buku Death and Disease in Southeast Asia (1987) mengungkapkan, flu Spanyol membuat lebih dari 1,5 juta orang di Hindia Belanda tewas.
Namun, riset Chandra mengungkapkan korban tewas lebih banyak dari yang disebutkan Brown. Menurut Chandra, angka mortalitas di Jawa dan Madura saja sekitar 4,26 juta hingga 4,37 juta jiwa.
Priyanto dkk menerangkan, salah satu penyebab angka kematian yang tinggi di Hindia Belanda adalah kenyataan kalau masyarakat pada masa itu terbiasa pergi ke dukun, bila sakit. Sebab, kematian kerap dihubungkan dengan teluh.
Dokter-dokter di Jawa, sebut Priyanto dkk, juga biasanya malas melayani pribumi yang sakit karena dianggap tak punya uang.
“Jika mereka mengobati orang Jawa, mereka melakukannya tidak dengan sepenuh hati karena hanya menerima sedikit uang atau bahkan tidak sama sekali,” tulis Priyanto dkk.
Di sisi lain, Ravando mengungkapkan penyebab tingginya mortalitas akibat flu Spanyol di Hindia Belanda, berdasarkan laporan BGD pada 1920.
“Karena rendahnya tingkat imunitas dari sebagaian besar penduduk, masa inkubasi virus yang cepat, proses penularan yang mudah dan cepat, serta kurangnya kesadaran penduduk yang sakit untuk mengisolasi diri,” tulis Ravando.