close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sesmenpora Gatot S Dewa Broto menunggu dimulainya sidang lanjutan kasus suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI dengan terdakwa asisten mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Miftahul Ulum (kanan) di Pen
icon caption
Sesmenpora Gatot S Dewa Broto menunggu dimulainya sidang lanjutan kasus suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI dengan terdakwa asisten mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Miftahul Ulum (kanan) di Pen
Nasional
Rabu, 04 Maret 2020 14:39

Anak buah Imam Nahrawi minta ratusan juta pada Sesmenpora

Sesmenpora Gatot S Dewa Broto mengaku tak tahu peruntukan uang yang diminta.
swipe

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto mengaku pernah dimintai uang ratusan juta oleh Nur Rochman alias Komeng, Sekretaris Pribadi eks Menteri Pemuda dan Olahraga Menpora Imam Nahrawi. Gatot tak tahu uang tersebut digunakan untuk apa.

Hal tersebut disampaikan Gatot saat bersaksi dalam sidang lanjutan perkara suap penyaluran bantuan pemerintah dari Kemenpora pada Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI 2018 dengan terdakwa Imam Nahrawi.

"Disampaikan saat itu, dia minta, 'Ini sudah akhir tahun di bulan Desember, ada dana yang mungkin sisa di 2014 yang bisa digunakan untuk membackup operasional dari Pak Menteri?,' seperti itu," kata Gatot, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).

Uang yang diminta Komeng senilai Rp500 juta. Permintaan terjadi saat Gatot masih menjabat sebagai Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora. Pada Komeng, Gatot mengatakan tak mempunyai uang sejumlah nilai yang diminta.

"Saya menyatakan kalau sampai jumlah disampaikan yaitu Rp500 juta, kami enggak ada uang. Apalagi seorang deputi tidak megang apapun. Uang itu menempel di pejabat pembuat komitmen di masing-masing asisten deputi," ujar dia.

Gatot juga mengaku tak tahu-menahu peruntukan uang yang diminta. Komeng tak menjelaskan lebih detail maksud penggunaan uang tersebut.

Karena tak memenuhi permintaan uang tersebut, Komeng kembali menagih melalui pesan elektronik. Gatot pun meminta Komeng menghubungi Chandra Bhakti selaku staf ahli di Kemenpora.

"Beliau SMS saya, 'Pak Deputi apakah yang tempo hari kok belum dieksekusi'. Saya tanya, 'Yang mana'. 'Yang komitmen dari Deputi V. Saya jawab, 'Oh belum. Coba koordinasi ke Chandra.' Buktinya setelah itu Pak Komeng tidak lagi ngejar saya," kata Gatot.

Dalam sidang ini, Gatot bersaksi untuk terdakwa Imam Nahrawi. Politikus PKB itu telah didakwa menerima uang suap sebesar Rp11,5 miliar terkait percepatan proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Imam. 

Pertama, proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th
Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018. Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.

Imam didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain itu, dia juga didakwa telah melanggar Pasal 11, juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain suap, Imam juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Imam melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum, dalam rentang waktu 2014 hingga 2019.

Untuk itu, Imam dianggap melanggar Pasal 12B ayat (1), juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan