Aktivis demokrasi Ananda Badudu menyoroti minimnya perlindungan hukum pembela hak asasi manusia (HAM) dari lembaga negara.
Pembela HAM disebut lebih merasakan perlindungan hukum dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) ketimbang lembaga pemerintah.
Untuk itu, Ananda meminta Komnas HAM dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) lebih pro aktif ‘jemput bola’ dalam memastikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak.
“Saya mewakili teman-teman di jalanan, bahwa merasakan yang namanya perlindungan dari lembaga negara itu bisa dirasakan minimlah. Perlindungan dan dukungan lebih dirasakan dari teman sejawat atau rekan-rekan pergerakan ketimbang lembaga negara,” ujar Ananda, dalam diskusi virtual, Senin (18/5).
Sebaiknya, saran dia, Komnas HAM dan LPSK tidak perlu menunggu laporan resmi. Pasalnya, pendekatan birokratis terbilang lambat.
Sebab, sambung Ananda, kekerasan dan represi kerap menabrak aturan tanpa mempertimbangkan kapan waktunya. Bahkan, teror dan kriminalisasi terhadap pembela HAM bisa berlangsung dalam hitungan jam atau menit, sedangkan pendekatan birokratis memerlukan waktu berminggu-minggu.
“Barangkali nasib 1.489 orang yang ditangkap kemarin (aksi Reformasi Dikorupsi) akan berbeda kalau misalnya tim advokasi yang pada saat itu kocar-kacir di seluruh Indonesia untuk mencari data orang-orang yang ditangkap. Barangkali ceritanya akan berbeda kalau misalnya pada hari itu langsung bermitra dengan Komnas HAM dan LPSK untuk memastikan hak orang-orang yang ditangkap itu terpenuhi,” tutur Ananda.
Ia pun mengkritik keterlambatan Komnas HAM. Misalnya, laporan pelanggaran HAM baru dilaporkan pada 2020. Sementara kasus telah menguap dan isunya tidak diperbincangkan lagi.
Padahal, kata dia, Komnas HAM dan LPSK memiliki posisi tawar yang lebih baik daripada LSM.
“Kami ini kan bergerak atas nama kemanusiaan. Kami kan tidak bergerak karena amanat undang-undang untuk melindungi HAM atau melingdungi kepentingan publik, tetapi atas nama kemanusiaan. Kalau LPSK dan Komnas HAM ini kan diamanatkan UU yah, untuk membela HAM dan memastikan penegakan HAM di Indonesia. Pastinya bargaining position-nya lebih besar,” ungkapnya.
Lebih jauh, Ananda berharap Komnas HAM dan LPSK memberikan gebrakan yang lebih berani untuk mendorong reformasi di tubuh institusi Polri. Jika tidak, pembela HAM akan lebih rentan dikriminaliasi. Lalu, yang terbebas akan terjebak dalam lobi-lobi politik.
Menurutnya, para pembela HAM yang terbebas dari kriminalisasi akan diberi status menggantung dan terkungkung kebebasannya dalam menuntut keadilan.
“Lebih koruptif, karena tidak ada ganjaran atas pelanggaran prosedur atau kekerasan yang dilakukan institusi penegak hukum. Akibatnya kekerasan terus terjadi dan imunitas terus berlangsung, sesalah apapun institusi, ketika terjadi kriminalisasi itu, tidak ada ganjaran itu. Saya pikir itu preseden yang buruk. Itu menunjukkan institusi penegak hukum antikritik dan tidak bisa dikoreksi,” pungkasnya.