Anarko Sindikalis: Muncul di perkotaan, bercita-cita rebut alat produksi
Ratusan orang berpakaian serba hitam, dengan masker, dan bendera merah-hitam, kocar-kacir setelah dihalau aparat kepolisian di sekitar Jalan Dipatiukur, Bandung, saat peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Rabu (1/5).
Mereka melakukan aksi perusakan fasilitas umum, dan mencorat-coret mobil serta dinding di beberapa tempat, sebelum aksinya dibubarkan polisi. Menurut Antara, Rabu (1/5), massa bergerak dari arah Taman Cikapayang, Dago, menuju ke sekitar Monumen Perjuangan. Orang-orang yang tertangkap, lantas diamankan di Polrestabes Bandung.
Polisi lantas menetapkan dua tersangka pelaku aksi vandalisme itu. "Keterlibatan mereka dalam tindak pidana khususnya perusakan, aksi vandalisme. Dikenakan Pasal 170 KUHP," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Jumat (3/5).
Dari hasil penyidikan sementara, ulah keduanya menimbulkan kerugian sekitar Rp3,5 juta. Polda Jawa Barat sendiri telah mengidentifikasi ada 619 orang anggota kelompok ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak 326 orang dewasa dan 293 remaja.
Tak hanya di Bandung, aksi orang-orang berpakaian hitam-hitam yang mencorat-coret bangunan dengan piloks ini juga muncul di Jakarta, Karawang, Malang, Surabaya, dan Makassar di hari yang sama. Coretan khas yang dibentuk kelompok ini adalah huruf A di dalam sebuah lingkaran.
Kelompok ini belakangan diketahui sebagai Anarko Sindikalis. “Di Indonesia baru berkembang beberapa tahun ini. Kita lihat mereka tahun lalu ada di Yogyakarta, ada di Bandung, sekarang ada di Surabaya, ada di Jakarta,” kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/5).
Menentang serikat buruh
Aksi kelompok Anarko Sindikalis terbilang masif dan kompak di beberapa kota. Seakan-akan, gerakan ini sudah ada komando terlebih dahulu, kemudian mereka turun berbarengan.
Namun, salah seorang anarko Kevin mengatakan, gerakan Anarko Sindikalis tak pernah diorganisir dan dimobilisasi. Oleh karena itu, gerakan ini sulit dipetakan. Disinggung soal tuduhan menunggangi aksi buruh pada perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2019 lalu, Kevin membantahnya.
“Serikat buruh sebetulnya yang menunggangi demo buruh. Sebab ada pengerahan dukungan buruh kepada salah satu calon presiden yang dikomandoi elite serikat buruh,” kata Kevin kepada reporter Alinea.id di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (5/5).
Anarko lainnya, Kenanga—bukan nama sebenarnya—menolak gerakan Anarko Sindikalis disamakan dengan serikat buruh. Menurut Kenanga, serikat buruh hanya ladang elite mencari ambisi politik. Oleh karena itu, selama ini isu perburuhan tak pernah bergeser, terutama soal penghapusan outsourcing dan upah.
“Kami sangat membenci elite serikat, karena mereka hidup dari iuran buruh. Lu kerja, terus bayar iuran, sementara elitenya punya rumah di Sentul sana. Sedangkan buruh, tinggal di bedeng, ngontrak gitu,” ujar Kenanga.
Menurut Kenanga, cita-cita terbesar anarko sindikalis adalah menguasai alat-alat produksi, dikelola secara swadaya oleh buruh, tanpa ada intervensi pemilik modal.
Gerakannya di Indonesia
Kenanga menjelaskan, anarkisme banyak sekali variannya, seperti anarko feminisme, anarko individualisme, anarko platformis, dan anarko komunisme. Anarko-sindikalis merupakan salah satu varian anarkisme, yang fokus dalam isu-isu perburuhan dan ketenagakerjaan.
Sejatinya, anarkisme merupakan sebuah sistem filsafat, yang intinya memandang negara sebagai institusi sosial yang membuat manusia tidak dapat memenuhi segala potensi diri. Tokoh yang dianggap pencetus filsafat anarkisme adalah Mikhail Bakunin.
Kaum anarkis di Indonesia percaya, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli sebagai penulis anarkis yang menjadi pemantik gerakan mereka di Indonesia.
Menurut Johanna M. Welcker dalam tulisannya tentang Eduard Douwes Dekker yang dimuat di BWSA (1992), diterbitkan ulang di socialhistory.org, selain terhadap guru dan pekerja sosial demokratis, pengaruh Multatuli juga terlihat di antara pekerja anarkis dan sindikalis.
Di dalam Minorities, Modernity and the Emerging Nation (2003), Gerry van Klinken menulis, Sukarno menganggap anarko sindikalis yang menjalar di Partai Boeroeh Indonesia (PBI) sebagai gerakan berbahaya.
Kenanga mengatakan, anarko sindikalis merupakan sebuah ideologi serikat yang menolak adanya institusi pemerintahan. Untuk mewujudkan cita-citanya, anarko sindikalis mengenal direct action dan legal action. Direct action dilakukan dalam bentuk sabotase, pencurian, dan perusakan alat produksi.
Menurut Kenanga, untuk visi jangka pendek, direct action merupakan capaian realistis bagi pergerakan Anarko Sindikalis.
"Tujuannya bikin rugi bos, sekecil apa pun itu. Bisa juga banner iklan di jalan dicoret, divandalin. Itu kan mahal, cukup bikin pusing. Dengan hal-hal kecil begitu, tapi kita menganggap itu gol kita. Itu disahkan," tutur Kenanga.
Kepolisian ingin menindak tegas anarko sindikalis. Beberapa waktu lalu, Kapolri Tito Karnavian mengatakan, sudah memerintahkan untuk melakukan pemetaan kelompok ini. Kenanga tak khawatir dengan hal itu. Ia mengatakan, tak ada delik yang kuat untuk menjerat, apalagi tak ada maksud dan tujuan untuk melawan kekuasaan.
“Enggak takut. Ngapain juga kita tidak ingin menggulingkan negara. Kita bisa saja bubar, tapi suatu saat bikin aksi lagi,” kata dia.
Muncul di perkotaan
Dihubungi secara terpisah, sosiolog dari Universitas Nasional (UNAS) Sigit Rochadi mengatakan, gerakan Anarko Sindikalis subur di perkotaan. Ia menuturkan, eksistensi gerakan Anarko Sindikalis sudah mulai teridentifikasi sejak awal 1920-an. Gerakan ini muncul berbarengan dengan paham sosialis, yang juga berkembang kala itu.
“Ia muncul bersamaan paham sosialis yang mulai berkembang kala itu. Hanya saja, anarkisme kalah populer dibanding sosialisme-marxisme,” kata Sigit ditemui di Universitas Nasional, Jakarta, Senin (6/5).
Lebih lanjut, Sigit menuturkan, pada 1900-an, orang-orang gerakan Anarko Sindikalis juga sempat bergabung ke dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Namun hal itu tak berlangsung lama. Orang-orang anarko sindikalis lantas keluar, karena gerakan PRD mengamini institusi negara.
Menurut Sigit, paham politik ini subur diadaptasi anak muda yang apatis dengan keberadaan pemerintah. Paham politik ini, kata dia, berkembang di perkotaan.
Keberadaannya terdeteksi dalam beberapa kali aksi buruh, yang diramaikan dengan identitas khas, berpakaian serba hitam.
Meski begitu, Sigit memandang, perkembangan gerakan Anarko Sindikalis bersifat temporal. Alasannya, kata Sigit, isu yang diperjuangkan anarko sindikalis mengawang alias utopis.
“Anarko itu di negara mana saja dianggap sesuatu yang utopia. Bisanya kalau melihat beberapa tahun sebelumnya, tahun 1990-an hingga 2000-an, penganut anarko sindikalis kembali lagi mempercayai negara,” ujar dia.