Ancaman klaster Covid-19 di tengah PTM terbatas
Rahayu Widiastuti—bukan nama sebenarnya—seorang guru di sekolah berasrama (boarding school) bilangan Serpong, Tangerang, Banten terkejut ketika membaca pesan di WhatsApp grup guru. Isinya berupa daftar siswa yang terinfeksi Covid-19 di sekolah tempatnya bekerja. Muridnya terdeteksi tertular setelah pihak sekolah melakukan tes Covid-19 bagi para siswa yang hendak masuk asrama.
“Setiap kedatangan siswa kan dibagi beberapa kloter untuk masuk asrama. Di kloter pertama tanggal 27 Agustus, ada dua yang kena,” tutur Rahayu saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (22/9).
“Sepertinya dari klaster keluarga. Siswa kami kan dari mana-mana. Ada yang dari Kalimantan, Lampung, dan Papua.”
Sebelum pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas digelar di sekolahnya pada Senin (6/9), Rahayu sempat khawatir, takut tertular virus. Akan tetapi, rasa cemas itu sedikit hilang ketika pihak sekolah menerapkan aturan ketat. Misalnya dengan membuat ruang isolasi mandiri dan fasilitas tes covid-19, baik tes usap antigen maupun polymerase chain reaction (PCR).
Protokol kesehatan juga ketat. Setiap guru dan siswa yang akan melakukan kegiatan belajar-mengajar harus dites usap antigen dan PCR setiap hari.
“Kalau ada kurir atau orang asing, enggak boleh masuk (area sekolah). Kalau cek suhu, suhunya 38 derajat saja, langsung disuruh pulang,” ucapnya.
Temuan kasus
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan, Taryono mengatakan, temuan kasus positif Covid-19 di sekolah sistem asrama bukan masalah besar. Sebab, sekolah berasrama terisolasi.
“Enggak boleh keluar-masuk. Dipersiapkan juga PCR dan segala macam gitu. Yang riskan justru yang pulang-pergi,” tutur Taryono saat dihubungi, Kamis (23/9).
Ia menilai, kasus Covid-19 dalam penerapan PTM terbatas bisa dihindari bila seluruh pihak dapat mematuhi protokol kesehatan dan bersikap proaktif melaporkan kondisi kesehatan kepada pihak sekolah.
Dengan adanya laporan kondisi kesehatan dari siswa, Taryono merasa proses pendeteksian dan tindakan preventif terhadap Covid-19 dapat mudah dilakukan. “Kesehatan itu harus prioritas untuk anak,” tuturnya.
Pembukaan sekolah dibayang-bayangi penyebaran Covid-19. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, 1.303 sekolah melaporkan klaster penularan Covid-19 selama PTM terbatas per 23 September 2021.
Berdasarkan data dari sekolah.data.kemendikbud.go.id, ada lima wilayah klaster sekolah Covid-19 terbesar, antara lain Jawa Timur ada 165 sekolah, Jawa Barat 149 sekolah, Jawa Tengah 131 sekolah, Nusa Tenggara Timur (NTT) 104 sekolah, dan Sumatera Utara 52 sekolah.
Disebutkan pula, terdapat 25 klaster Covid-19 berasal dari PTM terbatas di sekolah-sekolah di Jakarta. Namun, Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta mengklaim, hanya ada satu klaster Covid-19 saat PTM terbatas, yakni SD Klender 03, Jakarta Timur. Di sekolah ini, dua siswa terinfeksi Covid-19.
Beberapa waktu lalu, SMPN 4 Mrebet dan SMPN 3 Mrebet di Purbalingga, Jawa Tengah pun menjadi klaster, setelah ditemukan 151 siswa positif Covid-19. Di SMAN 1 Padang Panjang, Sumatera Barat juga ada 54 siswa yang dinyatakan positif Covid-19.
Pengawasan dan vaksinasi
Sementara itu, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, regulasi penerapan PTM terbatas, yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di masa Pandemi Covid-19, tak menjamin lingkungan pendidikan bebas dari Covid-19.
Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri itu mengatur kapasitas ruang kelas setingkat sekolah dasar hingga menengah atas, dengan jumlah 50% dan menerapkan jaga jarak 1,5 meter. Sementara ruang kelas untuk sekolah luar biasa (SLB) dan pendidikan anak usia dini (PAUD) maksimal diisi lima orang.
Durasi jam belajar juga diatur sesuai dengan ketentuan satuan pendidikan daerah. Lalu, sekolah harus menerapkan protokol kesehatan dan melarang kegiatan yang menimbulkan kerumunan. Pelaksanaan PTM terbatas ini hanya digelar di satuan wilayah PPKM level 1-3.
“Pengawasan cukup lemah dari pemerintah daerah, termasuk Satgas Covid-19 daerah,” tutur Satriwan, Kamis (23/9).
Satriwan memandang, pihak sekolah tak sepenuhnya merasa siap memberlakukan PTM terbatas. Pembukaan sekolah, kata Satriwan, dilakukan karena adanya desakan para wali murid.
“Akhirnya, mereka (pihak sekolah) mengabaikan SOP, asesmen dari dinas pendidikan atau pemda, dan protokol kesehatan,” tuturnya.
Satriwan menerangkan, berdasarkan catatan P2G, sejak 30 Agustus 2021 hingga saat ini, tak patuhnya protokol kesehatan, seperti tak mengenakan masker atau berkerumun, masih mendominasi pelanggaran PTM terbatas.
“Di Aceh, Padang Panjang (Sumatera Barat), Bukittinggi (Sumatera Barat), Pandeglang (Banten), Bima (NTB), dan Ende (NTT) banyak laporan yang masuk (pelanggaran protokol kesehatan),” ujar dia.
“Kami melihat, pengawasan lemah dan sanksinya pun tidak tegas. Kalau terjadi klaster sekolah, ya (harusnya) ditutup 3 kali 24 jam.”
Satriwan menyarankan Satpol PP dan pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap siswa, terutama jam pulang sekolah. “Yang tidak jaga jarak, tidak pakai masker, itu mesti ditegur. Kalau perlu disampaikan ke sekolah untuk dicatat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Satriwan pun menyarankan pihak sekolah agar jujur dengan kesiapan membuka PTM terbatas. Bila sarana penunjang protokol kesehatan belum siap, sebaiknya sekolah tak perlu dibuka.
“Jangan sampai korbankan anak,” kata dia.
Selain itu, ia meminta sekolah baru bisa membuka PTM terbatas, jika sebagian besar guru dan siswa sudah divaksinasi. Kata dia, minimal 70%.
“Nah, ini istilahnya sudah tercapai herd immunity di sekolah,” tutur dia.
Dihubungi pada Kamis (23/9), epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman juga mengatakan, selain kepatuhan terhadap protokol kesehatan, vaksinasi menjadi kunci mencegah terjadinya klaster Covid-19 di sekolah.
Bila merujuk data vaksinasi Kementerian Kesehatan, vaksinasi anak-anak di Indonesia masih terbilang rendah. Data per 23 September 2021 menunjukkan, jumlah anak-anak usia 12-17 tahun yang sudah divaksin dosis pertama baru mencapai 3.431.522 orang atau 12,85%, masih sangat jauh dari target 26.705.490 orang. Sedangkan anak-anak yang sudah menerima vaksin dosis kedua jauh lebih rendah, hanya 2.377.223 orang atau 8,90%.
Di samping itu, menurut Dicky, pemerintah perlu menggencarkan testing, tracing, dan treatment (3T) untuk menangkal klaster Covid-19 di lingkungan sekolah. Bila hal itu tak dilakukan, bukan tak mungkin akan terjadi ledakan kasus kembali.
“Di tengah tujuan kita ingin memulihkan sektor pendidikan, tentu kita juga enggak bisa abaikan keamanannya,” tutur Dicky.