Ancaman reinfeksi dan vaksinasi bagi penyintas Covid-19
Awal Februari 2021 Lukman Hakim kembali masuk Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada pertengahan Desember 2020 ia masuk ke RSDC Wisma Atlet karena terinfeksi Covid-19 sebagai orang tanpa gejala (OTG). Kali ini, ia masuk dengan kondisi bergejala.
Mulanya, pada 29 Januari 2021 karyawan di sebuah stasiun televisi swasta itu kehilangan indera penciuman. Malam hari, ia merasakan demam.
“Sampai saya pakai kaos kaki, masih menggigil. Lidah juga enggak bisa merasakan apa-apa,” kata pria berusia 27 tahun tersebut saat dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (13/2).
Keesokan harinya, ia memutuskan tes usap antigen di Rumah Sakit Royal Progress, Jakarta Barat. Hasilnya, reaktif. Selanjutnya, ia melakukan tes usap polymerase chain reaction (PCR) di RS Pelni, Jakarta Utara. Hasilnya, positif.
Di hari pertama di RSDC Wisma Atlet, ia mengalami masa kritis. Ia muntah-muntah dan tubuhnya lemas. Terpaksa ia dibawa ke instansi gawat darurat RSDC Wisma Atlet.
“Itu saya diinfus empat botol dari pukul 6 pagi sampai 12 malam,” ujar Lukman.
Reinfeksi pada penyintas
Pengalaman Lukman mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang terinfeksi Covid-19 sebanyak dua kali atau bahkan lebih. Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menjelaskan, penyintas Covid-19 yang reinfeksi disebabkan kemampuan titer antibodi yang sudah menurun. Antibodi yang terbentuk usai sembuh dari Covid-19, kata dia, tak mampu bertahan lama.
“(Antibodi setiap penyintas) ada yang rendah, ada yang tinggi. Semakin dia sakit Covid-19 parah, semakin tinggi imunitas dan antibdodinya. Kalau yang enggak bergejala, umumnya rendah,” kata Dicky saat dihubungi, Sabtu (13/2).
“Artinya, bisa dua bulan sudah enggak ada antibodinya. Rata-rata dua sampai tiga bulan.”
Terkait berapa lama antibodi bertahan pada tubuh penyintas, Dicky mengakui, belum bisa dipastikan. Hal itu tergantung sampel kasus penyintas yang diuji masing-masing negara.
Di dalam jurnal Nature Medicine volume 26, Agustus 2020 berjudul “Clinical and immunological assessment of asymptomatic SARS-CoV-2 infections” yang merupakan hasil riset 19 peneliti China di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Distrik Wanzhou disebutkan, tingkat antibodi dalam proporsi tinggi individu yang pulih dari Covid-19 mulai menurun setelah 2-3 bulan.
Penelitian ini mengambil sampel dari 37 penyintas tanpa gejala berat, dari kelompok usia rata-rata 41 tahun, 20 di antaranya perempuan. Salah satu metode yang dipakai adalah mengukur kadar titer antibodi dalam plasma darah.
Sementara riset yang dilakukan 20 peneliti bertajuk “Covid-19 re-infecrion by a phylogenetically distinct severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 strain confirmed by whole genome sequencing” yang dipublikasikan di jurnal Oxford Academic pada 25 Agustus 2020 mengambil sampel penelitian di Hong Kong.
Hong Kong yang merupakan daerah otonomi China menjadi yang pertama mengonfirmasi kasus reinfeksi pada Agustus 2020, selain Belgia, Belanda, dan Ekuador. Penyintas di Hong Kong yang mengalami reinfeksi pertama kali adalah seorang pria berusia 33 tahun. Ia terinfeksi kembali setelah empat bulan sembuh dari Covid-19.
Analisis genom menunjukkan strain virus yang berbeda dari infeksi pertama. Pasien tersebut terinfeksi varian virus berbeda setelah berkunjung ke Spanyol dan pulang melalui pemberangkatan pesawat di Inggris.
Penelitian ini menggunakan analisis seluruh susunan genom. Dalam dunia medis, penyintas dikatakan reinfeksi ketika terpapar dari susunan materi genetik virus yang berbeda antara infeksi pertama dan kedua.
Sedangkan kalau terinfeksi berdasarkan susunan materi genetik virus yang sama, maka disebut repositif. Dalam riset ini disebutkan, durasi daya tahan tubuh penyintas berbeda-beda.
BNO News edisi 28 Agustus 2020 melaporkan, ada 17 negara yang mengonfirmasi kasus reinfeksi. Dalam beberapa kasus, durasi penyintas mengalami reinfeksi ada yang sampai di atas sembilan bulan, seperti yang terjadi di Brasil.
Secara umum, hitungan rata-rata interval reinfeksi kira-kira 89 hari. Risiko kematian memang tergolong kecil, tetapi tidak dengan gejala yang dialami saat infeksi kedua. Sebanyak 85% penyintas mengalami gejala saat reinfeksi, beberapa kasus di antaranya gejala serius.
Belum diketahui berapa banyak kasus reinfeksi Covid-19 di Indonesia. Menurut Dicky, hal itu disebabkan surveillance genome (pelacakan genom) yang dilakukan Pemerintah Indonesia masih lemah. Padahal, ada ancaman varian baru virus corona dari Inggris, yang menurut World Health Organization (WHO) sudah terdeteksi di 60 negara.
“2021 adalah tahun bermunculnya strain-strain baru SARS-CoV-2. Artinya, kalau ada strain baru, dia (penyintas) akan mudah terinfeksi. Strain baru ini bisa lebih merugikan. Ini yang harus diantisipasi,” ujarnya.
Berisiko kah penyintas divaksin?
Akibat penyintas bisa kembali terinfeksi virus, pemerintah akhirnya mendaftarkan pasien sembuh dari Covid-19 sebagai sasaran vaksinasi, setelah sebelumnya tak masuk dalam hitungan.
Dalam rapat bersama Komisi IX DPR pada Kamis (14/1), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyintas Covid-19 tak masuk target vaksinasi dengan alasan masih memiliki imunitas.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) No. HK. 02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 pun menyebut penyintas tak bisa divaksinasi.
Beberapa waktu lalu, Kemenkes kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor HK. 02.02/I/368/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 pada Kelompok Sasaran Lansia, Komorbid, dan Penyintas Covid-19, serta Sasaran Tunda. Dengan terbitnya surat edaran itu, penyintas Covid-19 bisa disuntik vaksin, dengan syarat sudah dinyatakan sembuh lebih dari tiga bulan.
Juru bicara vaksinasi dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, vaksinasi awal kelompok penyintas diprioritaskan terlebih dahulu untuk tenaga kesehatan. Setelah itu, baru menyasar masyarakat umum. Dosisnya tetap dua kali, dengan interval 14 hari.
“Yang pasti dosisnya diatur. Hanya mampu menstimulus antibodi, tapi tidak membuat sakit, apalagi kematian,” kata Siti saat dihubungi, Sabtu (13/2).
Namun, vaksinasi untuk penyintas bukan tanpa masalah. Dalam laporan Cassandra Willyard di The New York Times edisi 1 Februari 2021 disebutkan, dosis vaksin yang berlebih akan mengakibatkan efek samping bagi penyintas.
Kejadian itu dialami Shannon Romano, usai ia mendapat suntikan vaksin pertama di Amerika Serikat. Ia mengalami sakit kepala dan badan, mirip gejala ketika terinfeksi Covid-19. Di Amerika Serikat, vaksin yang dipakai adalah produksi Pfizer dan Moderna, yang berbasis messenger RNA (mRNA).
Menurut beberapa peneliti dalam laporan mereka “Rebust spike antibody responses and increased reactogenicity in seropositive individuals after a 2 single dose of SARS-CoV-2 mRNA vaccine” yang dipublikasikan di medRxiv edisi 1 Februari 2021, dosis vaksin untuk penyintas tak bisa disamakan dengan orang yang belum pernah terinfeksi. Alasannya, ada perbedaan kadar antibodi yang memengaruhi efek samping yang bakal dirasakan.
“Penerima vaksin dengan bekal imunitas yang sudah berefek samping, misalnya kelelahan, sakit kepala, demam, dan otot sakit. Kekebalan atau reaksi antibodi sudah ada bahkan sama ketika divaksinasi dosis kedua. Karena itu, berikan orang-orang (penyintas) ini hanya satu dosis vaksin,” tulis laporan riset tersebut.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengingatkan agar segala kebijakan vaksinasi berlandaskan rujukan ilmiah. “Apa pun tindakan yang dilakukan pemerintah, harus ada kajiannya dulu. Jangan sampai nanti merugikan,” katanya saat dihubungi, Sabtu (13/2).
Dihubungi terpisah, Ketua Indonesian Technical Advisory Group on immunization (ITAGI), Sri Rezeki Hadinegoro menyebut, rujukan waktu vaksinasi berdasarkan hasil observasi titer antibodi penyintas, yang terkandung dalam plasma darah.
“Setelah sakit, kan diambil darahnya untuk pengobatan. Dari situ ketahuan, ternyata kok ada yang tiga bulan sudah habis, ada yang enam bulan, ada yang 13 bulan,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (14/2).
Untuk vaksin CoronaVac produksi Sinovac yang kini dipakai di Indonesia, kata Sri, belum ada penelitiannya terkait berapa dosis yang cocok untuk penyintas. Namun, Sri menjamin, vaksin itu tak bakal menimbulkan efek samping yang gawat bagi penyintas.
“Itu kan (menggunakan) virusnya mati. Jadi, enggak begitu banyak efek sampingnya,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut Dicky Budiman, vaksin bisa menjadi tameng sementara untuk penyintas, guna menekan risiko repositif atau reinfeksi. Ketika penyintas mengalami reinfeksi, maka tidak akan ada gejala atau bergejala ringan.
“Tidak harus masuk rumah sakit atau kalau dia punya faktor risiko, itu enggak parah atau sampai meninggal,” tuturnya.