close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pilkada di tengah pandemi. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi pilkada di tengah pandemi. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Selasa, 20 Oktober 2020 14:06

Ancaman turunnya partisipasi Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi

Pemerintah tetap akan menggelar Pilkada Serentak 2020 di tengah ancaman penularan virus.
swipe

Adryan, salah seorang warga Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) belum memutuskan apakah pada 9 Desember 2020 bakal pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Ia kecewa, kampanye daring yang dilakukan pasangan calon di daerahnya tak berjalan efektif. Akhirnya, lebih banyak diadakan pertemuan tatap muka.

“Sementara saya sendiri takut ikut kampanye di tengah situasi pandemi begini,” kata dia ketika dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (16/10).

Menurut Adryan, selain kendala sinyal internet, tim pemenangan kandidat juga tak mampu meyakinkan pemilih dengan baik. Mereka lebih banyak melakukan provokasi di media sosial ketimbang memaparkan visi dan misi.

"Ini yang membuat saya ragu apakah nanti menggunakan hak saya untuk memilih atau tidak," ujarnya.

Kabupaten Manggarai, Flores, merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota yang menggelar Pilkada Serentak 2020 di Provinsi NTT. Di seluruh Indonesia, Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 daerah dan melibatkan sekitar 105 juta pemilih.

 Metode kampanye yang dilakukan calon Wali Kota Solo Gibran Rakabuming./Foto Facebook GibranRakabuming.

Pemilu di negara lain

Di tengah situasi pandemi Covid-19, pemerintah tetap menggelar Pilkada 2020. Padahal, banyak negara di dunia menunda pemilu nasional dan subnasional akibat Covid-19.

Di dalam situs webnya idea.int, Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat, pada 21 Februari hingga 11 Oktober 2020 setidaknya ada 73 negara dan teritori di dunia memutuskan menunda pemilu nasional dan subnasional karena pandemi. Dari jumlah tersebut, IDEA melaporkan, setidaknya 39 negara dan teritori sudah memutuskan menunda pemilu dan referendum nasional.

Di Brasil misalnya. Negara yang ada di posisi ketiga dunia tertinggi kasus Covid-19, pemilu kota yang dijadwalkan 4 dan 25 Oktober 2020, dipindahkan ke tanggal 15 dan 29 November 2020. Pemilu tambahan untuk posisi senator di Mato Grosso jadwalnya pun diubah, dari 26 April 2020 ke tanggal 15 November 2020.

IDEA juga mencatat, pemilu Rajya Sabha (Dewan Negara) di India, yang memiliki kasus Covid-19 tertinggi kedua di dunia, juga diubah jadwalnya dari 26 Maret 2020 ke tanggal 19 Juni 2020. Lalu, pemilu Gram Panchayat (Dewan Desa) di negara bagian Karnataka dan Maharashtra, yang semula digelar Juli dan Desember 2020 ditunda. Kemudian, pemilu di Rajasthan untuk 129 badan lokal perkotaan, dipindah dari Agustus 2020 ke 20 Oktober 2020.

Namun, di tengah pandemi, ada pula negara yang tetap melangsungkan pemilu. IDEA mencatat, dari 21 Februari hingga 11 Oktober 2020 setidaknya ada 71 negara dan teritori yang menyelenggarakan pemilu nasional atau subnasional. Dari jumlah ini, setidaknya 56 negara sudah menyelenggarakan pemilu dan referendum nasional.

Pemilu sela lokal dan sela majelis rendah di Jepang, tetap berlangsung sesuai jadwal pada April 2020. Lalu, Korea Selatan tetap menggelar pemilu parlemen pada 15 April 2020. Pemilu presiden di Polandia pun tetap berlangsung pada 28 Juni 2020, dan putaran kedua pada 12 Juli 2020.

Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi, kesuksesan pemilu di Korea Selatan disebabkan faktor politis. Di Korea Selatan, kata dia, muncul gerakan anak muda yang menginginkan perubahan.

Nurul pun mengatakan, Korea Selatan sukses menggelar pemilu di tengah pandemi karena pemerintahnya mampu menekan angka kasus positif Covid-19. Berdasarkan data dari situs worldometers.info, per Senin (19/10), total kasus Covid-19 di Korea Selatan sebanyak 25.275. Kasus aktif di sana hanya 1.463, dengan kematian sebanyak 444.

Nurul menuturkan, pemerintah Korea Selatan juga memiliki sistem yang baik dalam menyelenggarakan pemilu.

"Di sana disediakan beberapa metode pemungutan suara, sehingga tidak ada penumpukan massa. Misalnya, pemilihan dengan pos, kotak suara keliling, dan TPS di sana besar-besar sehingga bisa jaga jarak," kata Nurul saat dihubungi, Jumat (16/10).

Partisipasi pemilih menurun

Calon Wali Kota Medan, Bobby Nasution, saat bersilaturahim dengan warga Kampung Kubur, Medan./Foto Facebook Bobby Nasution.

Beberapa waktu lalu, mempertimbangkan kondisi darurat kesehatan di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan kepada pemerintah agar Pilkada Serentak 2020 ditunda.

Epidemolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, seharusnya pemerintah tak boleh mengabaikan rekomendasi banyak pihak untuk menunda pilkada.

Namun, ia menuturkan, dalam rangkaian Pilkada Serantak 2020, harus dilihat seberapa banyak penularan virus. Dengan begitu, pilkada bisa dievaluasi dan dipertimbangkan ditunda.

"Kalau banyak datang dari kampanyenya, harus diungkit berapa banyak. Itu yang nanti harusnya (jadi pertimbangan pilkada) diundurkan sampai Juni 2021," kata Tri saat dihubungi, Jumat (16/10).

Tri mengingatkan, keselamatan warga jauh lebih penting ketimbang pilkada. Oleh karena itu, ia berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menunda pilkada hingga angka kasus penularan Covid-19 di Indonesia bisa ditekan ke level yang lebih rendah.

"(Menunda) enam atau sembilan bulan menurut saya enggak terlalu jauh karena keamanan bangsa ini lebih penting dibanding pilkada," ujarnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor menyebut, ada potensi menurunnya partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020 karena alasan kesehatan. Dalam situasi pandemi, ia mengatakan, masyarakat takut pergi ke TPS.

Lebih lanjut, Firman mengatakan, ada kesan pemerintah kurang mendengar masukan masyarakat karena mengabaikan rekomendasi sejumlah pihak untuk menunda Pilkada Serentak 2020.

“Jadi, memang sudah ada karakteristik punya pemikiran sendiri, punya agenda sendiri,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (16/10).

Senada, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno yakin tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020 bakal terjun bebas. Ketakutan masyarakat tertular virus bisa berdampak pada kurangnya minat memilih.

"Pilkada juga dianggap tidak terlalu memberi dampak positif terhadap kehidupan masyarakat, siapapun gubernur, bupati, atau wali kota yang terpilih," kata Adi ketika dihubungi, Jumat (16/10).

Di sisi lain, ia mengatakan, situasi ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 juga berdampak pada meningkatnya praktik mobilisasi massa.

“Yang dikhawatirkan begitu. Masyarakat malas datang ke TPS, ancaman partisipasi rendah, justru para pasangan calon ini memobilisasi mereka dengan politik uang," kata dia.

Kalau pun Pilkada Serentak 2020 tetap berjalan, Nurul menyarankan pemerintah membuat regulasi untuk memberikan sanksi tegas terhadap pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.

Pada akhir September lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri sudah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.

Infografik pilkada di tengah pandemi. Alinea.id/Oky Diaz.

Di dalam beleid itu terdapat larangan dan sanksi. Misalnya, Pasal 88C menyebut, partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau pihak lain dilarang melaksanakan kegiatan lain dalam bentuk rapat umum; kegiatan kebidayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; peringatan hari ualng tahun partai politik.

Di dalam Pasal 88A ayat 2 dan 3 juga disebutkan, pelanggar protokol kesehatan diberikan peringatan secara tertulis. Jika masih melanggar, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai tingkatannya, bisa melaporkan kepada kepolisian.

Di samping itu, lanjut Nurul, memastikan pula KPU sudah siap menggelar pilkada dengan fasilitas kesehatan dan mekanisme pemungutan suara yang tak menyebabkan kerumunan orang.

"Supaya partisipasi pemilih tidak jatuh, memang harus difasilitasi. Ada beberapa alternatif metode pemilihan, yakni kotak suara keliling atau kotak pos,” tutur Nurul.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan