Pada era tahun 1980-an saat Presiden Soeharto, kredit yang diperuntukkan bagi mahasiswa dapat diberikan sejumlah lembaga keuangan atau instansi pemerintah. Kredit diberikan kepada mahasiswa yang hendak melakukan penelitian demi tugas akhir yakni skripsi.
Mengingatkan kembali, salah satu perguruan tinggi negeri di Surakarta, Jawa Tengah termasuk yang memperoleh kuncuran dana kala itu. Ratusan mahasiswa di sana yang mendapat kredit mahasiswa yang diperuntukkan menyelesaikan tugas akhir untuk penulisan skripsi.
Setiap mahasiswa mendapat pinjaman senilai Rp 750.000. Banyak mahasiswa yang menggunakannya untuk membeli mesin ketik baru. Untuk kualitas atau merk mesin ketik yang cukup memadai seharga sekitar Rp 100.000.
Dengan memperoleh pinjaman itu, mahasiswa yang tidak punya mesin ketik dapat membelinya. Sisa uang pinjaman pun digunakan untuk biaya operasional penelitian seperti transport selama penelitian. Atau mengurus izin penelitian ke instansi pemerintah di Ibu Kota Provinsi, pembelian buku-buku referensi.
Meski begitu tidak semua dana dari kredit mahasiswa dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Tidak sedikit mahasiswa yang menggunakan dana itu untuk membeli motor. Tentu bukan motor baru yang harganya di atas nilai kredit mahasiswa.
Walau bisa dibilang tidak sesuai peruntukannya, argumen pembelian motor bekas itu pun masih bisa diterima. Memiliki motor, mahasiswa dapat mengatasi masalah transportasi dengan lebih efisien.
Seiring lengsernya Presiden Soeharto, rupanya kebijakan positif pada era Orde Baru itu tampaknya ingin diwujudkan kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keinginan mantan Gubernur Jakarta ini diutarakan saat bertemu dengan sejumlah bankir di Istana Negara pekan lalu.
Di sela-sela keluhannya terkait kredit sektor keuangan yang belum tumbuh maksimal. Jokowi mengajak kalangan perbankan untuk memberikan kredit mahasiswa yang pelunasannya dilakukan setelah mahasiswa lulus dan memperoleh pekerjaan.
Berbeda dengan kebijakan lunak pada era Soeharto yang diberikan pada akhir masa kuliah. Presiden Jokowi ingin kredit mahasiswa diberikan saat semester awal perkuliahan.
Pertimbangan Jokowi, kredit pendidikan tersebut diberikan untuk mengakomodir keinginan anak-anak Indonesia yang ingin sekolah di jenjang perguruan tinggi namun terhambat biaya.
Bank milik Pemerintah Daerah diminta Jokowi untuk terlibat dalam program pemberian kredit mahasiswa itu. Apabila mahasiswa tersebut dinilai layak menerima kredit mahasiswa, maka kewajibannya sementara adalah menandatangani kesepakatan untuk mengabdikan diri di daerah.
Keuntungannya kata Jokowi pun besar, terutama untuk tenaga-tenaga kerja yang selama ini kurang di sejumlah daerah. Skema pemberian kredit mahasiswa tersebut diyakini bisa menjadi penyelamat kurangnya tenaga kerja profesional di daerah.
Selama ini, harus diakui beasiswa tidak sepenuhnya menutup biaya operasional biaya operasional keseharian mahasiswa. Salah satu solusinya adalah dengan kredit mahasiswa yang memungkinkan anak-anak dari keluarga miskin menyelesaikan kuliah hingga lulus.
Seperti program-program sebelumnya, keberhasilan program kredit mahasiswa sangat bergantung sejauh mana program itu dijalankan sesuai dengan ketepatan sasaran. Jika mahasiswa yang layak mendapat kredit itu memenuhi syarat, tidak ada distorsi pemberian kredit mahasiswa.
Untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan, pihak perbankan perlu melakukan cek dan cek kembali mengenai kebenaran data-data tentang calon penerima kredit. Pihak perbankan tidak selayaknya percaya kepada pihak perguruan tinggi yang menyediakan data tentang calon penerima kredit mahasiswa.
Tiadanya pemeriksaan dan pengawasan yang ketat dari pihak perbankan mengenai data calon penerima kredit mahasiswa yang disodorkan tenaga admistrasi dari perguruan tinggi, akan membuka peluang terjadinya penyimpangan. Makanya, tenaga admistrasi di perguruan tinggi harus berperan saat memberikan kredit mahasiswa yang dinilai memiliki relasi baik.
Resiko besar
Meski terdengar indah, namun rencana tersebut diakui tidak memiliki resiko besar. Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi M Nasir mengatakan pengembalian angsuran kredit pendidikan memiliki banyak kendala.
"Belajar dari pengalaman, rata-rata tidak membayar. Meski ijazahnya ditahan, tapi ternyata mahasiswa tidak butuh ijazahnya. Mereka hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir," kata Nasir seperti dikutip Antara.
Kendati demikian, Nasir menjelaskan pemerintah akan membahasnya bersama dengan perbankan untuk mencari solusi dalam menangani kendala tersebut.
Rupanya Menristek Dikti mengaku dirinya pada tahun 1985 juga pernah mendapatkan kredit pendidikan dari salah satu bank BUMN sebesar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Nasir bercerita pada saat itu dia dapat melunasi seluruh kewajiban dari kredit pendidikan bernama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) setelah bekerja selama dua tahun.